KONSEP MUBAHALAH SEBAGAI SOLUSI MENGATASI KRISIS KEJUJURAN BANGSA


PENDAHULUAN
Dewasa ini kita dihadapkan dengan permasalahan pelik yang menimpa bangsa ini. Betapa tidak, masalah demi masalah tak urung selesai malah menjadi semakin komplek saja. Dimulai dari persoalan hutang Negara yang sampai saat ini masih menembus angka fantastis, angka kemiskinan yang tergolong tinggi hingga masalah korupsi dan dekadensi moral yang melanda negeri ini. Orang – orang di bangsa ini sudah kehilangan rasa malu untuk berbuat nista. Jati diri bangsa ini sebagai “Bangsa Timur” yang menjunjung tinggi moral dan etika sudah hilang tak berbekas. Bahkan berdasarkan survey, bangsa ini masih istiqomah dengan bangganya menduduki peringkat ke-6 sebagai Negara terkorup di dunia[1].
Setelah melihat realita data tersebut mungkin hati kita bertanya – tanya ada apa dengan bangsa ini?, padahal seperti yang kita ketahui bersama, bahwa mereka para pejabat sebelum dilantik bersumpah dibawah Kitab Suci, mereka berjanji akan menjunjung tinggi kejujuran, amanah, dan bersih, tidak akan pernah menyalah gunakan jabatan yang diembannya dengan melakukan cara – cara keji yang merugikan bangsa ini, yang salah satunya adalah korupsi. Akan tetapi janji tinggallah janji, alih – alih ingin menjadikan jabatan yang diemban sebagai amanah yang harus ditunaikan dan dijunjung tinggi, justeru mereka malah menikam dari belakang, memanfaatkan jabatan sebagai sarana untuk memperkaya diri dengan jalan bathil dan keji.
Berangkat dari masalah itulah maka dirasa sangat perlu melakukan tindakan peencegahan agar para pelaggar hukum itu berfikir seribu kali sebelum melakukan pelanggaran tersebut dan menjunjung tinggi amanah suci yang mereka emban pada pundak – pundak mereka. Diantara langkah riil tindakan tersebut, salah satu cara yang ingin kita bahas dan paparkan adalah dengan meningkatkan frekwensi sumpah dengan bermubahalah agar menimbulkan efek jera pada pelakunya.

PENGERTIAN MUBAHALAH
Mubahalah berasal dari kata باهل – يباهل - مباهلة, yang artinya adalah saling melaknati.[2] Sedangkan secara terminologi mubahalah adalah dua pihak yang saling memohon dan berdoa kepada Allah SWT supaya menurunkan laknat dan membinasakan pihak yang bathil atau pihak yang mendustakan kebenaran. Mubahalah berlangsung antar kedua belah pihak dengan membawa keluarga masing – masing dan disaksikan oleh kaum muslimin. Allah SWT memerintahkan Rasululah SAW untuk bermubahalah dengan orang – orang yang menentang kebenaran mengenai Nabi Isa as. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 61,
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنفُسَنَا وَأَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَتَ اللَّـهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ ﴿٦١﴾
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): marilah kita memanggil anak – anak kami dan anak – anak kamu, isteri – isteri kami dan isteri – isteri kamu, diri kami dan diri kamu (saling melaknat), dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang – orang yang berdusta”.
Sebab turunnya ayat ini adalah utusan dari Najran. Perlu kita ketahui, Najran adalah salah satu wilayah yang cukup luas sejauh tujuh marhalah dari Makkah kearah Yaman, wilayah ini terdiri dari 73 Dusun yang memilki seratus ribu prajurit yang bernaung dibawah bendera Nasrani.
Ketika orang – orang nasrani dari wilayah Najran ini datang, mereka langsung berdebat mengenai diri Nabi Isa as. mereka meyakini bahwa Nabi Isa adalah anak Allah dan merupakan salah satu sesembahan, sehingga lantas Allah menurunkan ayat ini untuk membantah mereka. Ibnu Ishak berbicara tentang tafsir ayat ini dengan mengatakan, “ketika turun perintah dari Allah kepada Rasulullah SAW, serta ketetapan hukum atas perkara yang terjadi antara beliau dengan mereka, maka beliau diperintahkan oleh Allah untuk bermubahalah dengan mereka, jika mereka masih tetap menolaknya maka Rasulullah mengajak mereka masuk islam, akan tetapi mereka mengataka, “hai Abul Qasim, berilah kesempatan kepada kami agar kami bisa mempertimbangkan keptusan kami. Kemudian setelah itu kami akan mengabarkan keputusan kami terhadap ajakan mubahalah, sebagaimana yang telah kau sampaikan pada kami”.
Merekapun pergi meninggalkan Rasulullah SAW. Lalu mereka menemui salah seorang penasehat mereka, yang bernama Al – Aqib, mereka berkata, “wahai hamba al Masih bagaimana pendapatmu?”, Al Aqib menjawab, “demi Allah hai kaum nasrani, kalian semua sudah mengetahui bahwa Muhammad itu dalah utusan Allah. Dan dia telah menyampaikan tentang keputusan perkara junjungan kalian (Nabi Isa), dan kalian semua juga sudah mengetahui tidaklah salah satu kaum yang bermubahalah kepada salah seorang Nabi, melainkan tidak akan tersisa sedikitpun dari orang – orang dewasa dan tidak pula akan lahir atau tumbuh anak – anak kecil mereka. Sungguh apabila kalian melaukan hal itu pasti kalian akan binasa. Jika kalian masih tetap sayang terhadap agama yang kalian yakini serta masih ingin mempertahankan keyakinan kalian terhadap junjungan kalian (Nabi Isa) maka tinggalkanlah Muhammad dan segera kembalilah ke negeri kalian”.
Setelah mereka mendapatkan penjelasan dari Al Aqib, mereka segera mendatangi Nabi seraya berkata, “hai Abul Qasim kami tidak jadi bermubahalah denganmu, kami biarkan engkau masih tetap pada agamamu dan kami pun kembali ke negeri kami. Akan tetapi kirimlah salah seorang dari sahabatmu pada kami untuk memutuskan perkara yang masih diperselisihkan diantara kami mengenai harta benda. Sesungguhnya kalian adalah orang yang diterima disisi kami”.
Akhirnya mereka sepakat untuk tunduk kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “kami pasrah apapun yang engkau minta dari kami”. Kemudian beliau menyatakan siap menerima jizyah yang telah disepakati dengan membayar dua ribu hullah, dengan perincian seribu dibayarkan pada bulan Rajab dan yang lain pada bulan Safar.[3]
PELAKSANAAN MUBAHALAH
Dari ayat yang telah dikemukakan diatas dengan peristiwa – yang menyertainya, dan juga dari beberapa sumber lain, maka dapat diketahui syarat – syarat dan tata cara Sumpah Mubahalah.
Syarat – Syarat Mubahalah:
  1. Kedua belah pihak yang berselisih setuju untuk melaksanakan mubahalah sebagai langkah terakhir yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah mereka.[4]
  2. Masing-masing pihak yang akan melaksanakan mubahalah harus menghadirkan semua keluarga mereka. Mulai dari orang tua, istri, dan anak.
  3. Mubahalah diselenggarakan di tempat umum dan disaksikan oleh orang banyak.[5]
Tata Cara Mubahalah:
1.    Mubahalah diawali degan lafadz – lafadz sumpah, seperti: Wallahi, Billahi, Tallahi.[6]
2.    Menyebutkan masalah yang dimaksud.
3.    Melafalkan kalimat yang didalamnya terdapat kesediaan untuk dilaknat oleh Allah SWT, jika ia berdusta, bukan hanya bagi dirinya namun juga bagi isteri-isterinya dan anak-anaknya.
 Inilah tata cara mubahalah dan sekaligus sebagai contoh kasus pertama yang diselesaikan dengan konsep mubahalah. Dan pada kasus diatas, akhirnya orang-orang Nasrani Najran bersepakat untuk tunduk pada Rasulullah SAW, karena mereka takut akan akibat yang akan menimpa mereka jika mereka nekad menerima tantangan mubahalah dari Rasulullah tersebut.
Demikianlah, ketakutan orang-orang yang ragu terhadap kebenaran mereka, kemudian mereka dihadapkan dengan Sumpah Mubahalah. Karena memang mubahalah adalah sumpah dengan konsekuensi terberat, sehingga membuat orang-orang yang ragu akan kebenaran mereka sendiri itu harus berfikir seribu kali untuk menerima tantangan bermubahalah.
Ada beberapa contoh lain kasus yang diselesaikan dengan menggunakan konsep mubahalah, yang dilaksanakan oleh para sahabat Rasululah SAW maupun pada zaman-zaman setelah mereka. Bahkan ada diantaranya yang mengakibatkan salah satu pihak yang bermubahalah benar-benar tertimpa laknat dari Allah SWT. Contoh-contoh kasus tersebut antara lain[7]:
  1. Mubahalah yang dilaksanakan oleh Sahabat Ibnu Mas’ud ra. Yaitu ketika beliau mengajak bermubahalah dalam masalah ‘iddahnya wanita hamil. Bahwa masa ‘iddah itu sampai lahirnya si bayi bukan yang terpanjang dari dua masa (sampai melahirkan dan sampai 4 bulan 10 hari).
  2. Mubahalah yang dilaksanakan oleh Sahabat Ibnu Abbas ra. Yaitu pada kasus ‘Aul dalam faroid (pembagian harta waris).
  3. Mubahalah yang dilaksanakan oleh Mirza Ghulam Ahmad, Nabi palsu dari golongan Ahmadiyah, yang menyebabkan ia tewas ketika buang hajat dalam keadaan sakit parah.
  4. Tantangan Mubahalah yang diajukan oleh A. Hassan, salah satu tokoh Persatuan Islam (PERSIS) kepada kelompok Ahmadiyah, yang terjadi sekitar tahun 1930-an. Namun sampai saat ini, Ahmadiyah tidak berani menerima tantangan tersebut.
  5. Contoh kasus mubahalah yang terjadi pada masa ini adalah Mubahalah antara Irena Handono vs Diki Candra, yang dilaksanakan pada hari Ahad, 4 Juli 2009 di Masjid Al – Fajri, Cijagra, Bandung, Jawa Barat.
Irena Handono adalah seorang Ustadzah mantan biarawati yang menjadi muallaf sejak tahun 1983. Beliau aktif berda’wah khususnya dibidang kristologi. Sedangkan Diki Candra adalah aktifis  Forum ARIMATEA (Advokasi, Rehabiltasi, Imunisasi, Aqidah, Terpadu, Efektif, dan Aktual). Sebuah lembaga anti pemurtadan, dan dia menjabat sebagai Sekjen disana.
Konflik bermula ketika Diki Candra memposting suatu artikel berjudul, “Laporan Hasil Investigasi terhadap Hj. Irena Handono”, yang dimuat dalam website http://forum-arimatea.blogspot.com, Tertanggal 21 Februari 2009. Didalamnya berisi laporan seorang yang bernama Imam Safari tentang Irena Handono. Ia mengaku pernah melihat Irena berpakaian biarawati dan berkalung salib di sebuah gereja di Singapura pada tahun 2007. Surat tersebut bertanggal 13 September 2008 diatas materai 6000.
Kontan, pihak Irena tidak terima atas pemberitaan tersebut. Mereka menyayangkan tindakan Diki Candra yang menyebarluaskan berita tersebut tanpa konfirmasi terlebih dahulu kepada mereka. Apalagi mereka menilai bahwa Imam Safari, si pembawa berita, adalah seorang yang diragukan kebenarannya. Merujuk dari pernyataan Habib Muhsin Ahmad Alatas di majalah Sabili edisi 23 th. XVI bahwa Imam Safari adalah kader Islam Liberal dari kalangan NU.
Merasa difitnah tanpa bukti yang jelas, maka pada tanggal 7 Mei 2009 secara resmi pihak Irena Melaporkan Diki Candra dkk ke Mabes Polri dengan didampingi kuasa hukumnya, atas tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik.
Oleh karena berbagai cara yang telah dikompromikan antara kedua belah pihak tidak juga meghasilkan titik temu maka cara terakhir yang ditempuh adalah Mubahalah, “Saran untuk tercapainya Ishlah sudah kita ajukan tapi tidak tercapai. Karena siapa yang salah dan siapa yang benar tidak bias dibuktikan oleh manusia, maka mubahalah pun menjadi pilihan terakhir” kata KH. Athian Ali M Dai, yang menjadi mediator antara kedua belah pihak. Beliau juga mengatakan, “ Mubahalah terjadi agar Allah menunjukkan siapa orang munafik disekeliling kita”.
Saat yang ditunggu – tunggu pun tiba, ratusan orang berkumpul di masjid Al – fajri, Cijagra untuk menyaksikan peristiwa ini. Irena hadir dengan membawa Suami, menantu, anak-anak dan cucu, sedangkan Diki hanya menyertakan isterinya. Awalnya Mubahalah akan dilaksanakan antara Irena dengan Diki dan Imam Safari. Namun, sampai acara akan dilangsungkan, Imam Safari, si Penyebar berita negatif  itu tidak kunjung datang. Hal ini secara tidak langsung telah meruntuhkan keyakinan publik kepada pihak Diki. Maka Mubahalah pun dilangsungkan, tepat setelah masing-masing pihak menyatakan sumpah, adzan dikumandangkan di masjid itu. Acara diakhiri dengan pemanjatan do’a yang dipimpin oleh KH. A Cholil Ridwan yang hadir sebagai utusan dari Majelis Ulama Indonesia. Beliau mengatakan bahwa  Sumpah Mubahalah adalah solusi final untuk mengungkap kebenaran.
Dari kasus diatas dapat diambil satu kesimpulan bahwa sumpah mubahalah ini secara tidak lansung telah menunjukkan kebenaran diantara yang berselisih. Karena salah satu dari dua belah pihak “tidak berani” hadir. Maka pihak yang berani, yang terus memegang teguh keyakinannyalah yang menang.
MENGAPA SUMPAH TAK CUKUP MEMBUAT MEREKA TAKUT?
Allah SWT Sang Maha Kuasa, Maha Pedih adzab – Nya, tiada adzab yang lebih pedih dari pada adzabnya. Seharusnya manusia takut kepada – Nya dan memang semestinya harus begitu. Namun, zaman sudah bergeser. Kini manusia tidak takut lagi kepada Tuhannya, dan Kitab Suci hanya sebagai souvenir dimata mereka. Maka dapat kita tengok ketika sebagian orang yang ingin menduduki sebuah jabatan penting di negeri ini, mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, termasuk menghianati Allah SWT dan Kitab Suci – Nya, yang ketika mereka bersumpah setia, ia diletakkan diatas kepala – kepala mereka.
Manusia memang pada dasarnya lebih takut pada sesuatu yang riil, yang dapat dilihat oleh mata mereka. Maka ketika mereka bersumpah kepada yang Ghaib dan kepada sebuah buku saja (menurut pandangan mereka) dengan mudah mereka mengingkarinya. Maka dari itu perlu sesuatu yang lebih nyata dan lebih menakutkan untuk menjaga komitmen mereka – padahal adakah yang lebih menakutkan dari Allah SWT? –. Salah satunya adalah dengan memerapkan konsep mubahalah sebagai pengganti sumpah biasa.
SUMPAH MUBAHALAH ADALAH SOLUSINYA?
Pada dasarnya konsep mubahalah memang hanya berlaku pada kasus – kasus perselisihan dan fitnah – fitnah yang dituduhkan kepada satu pihak kepada pihak lain, yang kedua belah pihak tersebut tidak mempunyai bukti yang jelas untuk menguatkan pernyataan masing – masing. Namun, jika ditengok dari reputasi Mubahalah sebagai solusi penyelesaian masalah yang paling akhir, juga karena konsekuensi dari mubahalah yang tidak main – main yang sudah dibuktikan dengan contoh – contoh diatas, juga karena sumpah ini tidak hanya berakibat terhadap dirinya sendiri namun juga terhadap orang – orang yang ia kasihi. Maka dapat kita simpulkan, konsep mubahalah sangat sesuai untuk menjaga setiap amanah, kepercayaan, kejujuran, dan sikap konsisten, yang sudah tentu menjadi sebuah tuntutan bagi para pemegang amanah itu. Ketika mereka bersedia untuk mengemban amanah yang diberikan kepada mereka, ketika mereka bersedia menanggung segala konsekuensinya, ketika mereka dengan sikap hikmat menerima itu semua, maka perlu ada “tali” untuk mengikat janji – janji mereka tersebut agar sampai ketika mereka lepas dari amanah tersebut mereka tidak pernah sekalipun berpaling darinya. Ketika tali itu diikatkan kepada mereka, ikatlah pula kekasih – kekasih mereka, orang tua mereka, anak – anak mereka, bahkan sampai cucu – cucu mereka, agar suatu saat jika setan hendak membisikkan kekejian lewat telinga kiri mereka, orang – orang yang mereka kasihi itu membisikkan peringatan keras ke teliga kanan mereka bahwa jika mereka menuruti setan maka akan terjadi sesuatu yang buruk yang akan menimpa orang – orang yang mereka kasihi itu bahkan lebih buruk dari nasib setan itu sendiri.
PENERAPAN KOSEP MUBAHALAH DALAM PEMERINTAHAN
Tugas sebagaian ahli politik Negara ialah menjaga administrasi Negara, memelihara bangsa dan melaksanakan amanah serta merealisasikan janji-janji yang telah dibuat agar kehidupan terus aman di bawah pimpinan mereka. Inilah tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi.
Namun, mereka yang sepatutnya melaksanakan tugas ini, sebagian mereka tidak menepati janji yang telah dibuat. Janji mereka memberikan pekerjaan, memberantas korupsi dan sebagainya masih belum ada hasilnya. Ini adalah akibat daripada kasus-kasus kotor seperti korupsi, tidak amanah, fitnah, masalah ajaran sesat, dan beberapa hal lain yang melibatkan ketidak stabilan di Negara ini. Keadaan ini sungguh memalukan sehingga tidak dapat diterangkan kepada masyarakat muda yang kelak akan menjadi pemimpin Negara pada masa akan datang.
Antara perkara yang masih dibincangkan hingga kini ialah mengenai korupsi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkali-kali memberi komitmen untuk terus memberantas korupsi . Inpres No.5 Tahun 2004 telah mendorong semua intansi untuk berperan memberantas korupsi, lantas diikuti dengan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK). Namun ia masih belum tercapai karena pemilu 2009.[8]
Masalah korupsi bukan hanya melibatkan para politik saja, namun ia juga melibatkan semua lapisan elemen  masyarakat seperti perkerjaan di kantor, polisi, doctor di universitas dan sebagainya. Korupsi telah melanda luas di seluruh Negara ini. Malah, pelaksaan undang-undang Negara belum bisa mengatasinya.
Mengenai ajaran sesat, MUI dalam Musyawarah Nasional VII di Jakarta, 21-29 Juli 2005, merekomendasikan bahwa aliran sesat seperti Ahmadiyah, LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) dan sebagainya agar ditindak tegas dan dibubarkan oleh pemerintah karena sangat meresahkan masyarakat.[9] Dan antara cara penyelesaian dalam kasus ini ialah Kita tahu bahwa untuk menyelesaikan masalah mubahalah adalah salah satu alat untuk menyelesaikannya walaupun ia tidaklah dituntut dalam Islam.

Namun ada yang harus diperhatikan, jika masyarakat mempercayai mubahalah mampu menyelesaikan masalah hidup, masyarakat akan menganggap mudah akan semua perkara. Masalah semuanya diakhiri dengan mubahalah lalu proses penyiasatan, perundangan dan kehakiman sudah tiada lagi. Maka tidak perlu lagi dengan hakim dan proses mencari bukti jika masyarakat bisa melihat laknat Tuhan kepada orang yang berbohong.
                                                 
Selain itu, perbuatan khianat juga bisa muncul selepas mubahalah dilaksanakan. Orang yang bermubahalah bisa saja membuat khianat supaya mubahalah dilaksanakan kepada lawannya untuk menunjukkan bahwa lawannyalah yang sudah dimakan sumpah. Ini amat berbahaya untuk sistem sosial masyarakat. Keadilan bisa terhapus sementara kebenaran hanya diukur melalui sumpah.
Namun dari penjelasan tersebut, ada yang dapat kita ambil contoh dari Negri tetangga, ketika ditanya mengenai mubahalah tidak termasuk dalam undang-undang syariah di Malaysia. Adakah kerajaan  Malaysia patut menjadikan mubahalah sebagian daripada perundangan syariah?
Dr. Mohd Radzi, seorang tokoh agama di Malaysia berkata, “saya rasa elok kita dari semasa ke semasa membuat kajian terhadap keperluan perundangan yang sedia ada berdasarkan kasus - kasus yang berlaku. Di mana terdapat keperluan memperbaiki atau ditambah bahkan diperbaiki atau disesuaikan gaya bahasa dan ayat yang lebih mantap dan jelas”.[10]
Majlis Fatwa Tetap Arab Saudi di dalam salah satu fatwanya menyebutkan,Mubahalah bukanlah dikhususkan kepada Rasulullah S.A.W. bersama Nasara saja, akan tetapi dia umum kepada Rasulullah dan kepada umatnya baik bersama Nasara atau lainnya. Ini karena asal dalam pensyariatan hukum, hukum itu umum (untuk semua, bukan khusus untuk Nabi), sekalipun mubahalah yang berlaku di zaman Nabi S.A.W. antara beliau dan Nasara Najran. Ini hanyalah sebagian perlaksanaannya terhadap makna ayat (al-Qur’an), bukan menunjukkan terbatas kepada hukum dalam keadaan itu saja.”[11]
Esistensinya tidaklah terlalu rumit bagi insan yang bertaqwa. Karena Allah SWT tidak memberi sangsi kepada mereka yang tidak bersalah. Oleh karena itu, sebaiknya mereka melaksanakan mubahalah agar perkara ini tidak lagi diperselisihkan buat selamanya. Setelah mubahalah, kita serahkan ia kepada Allah SWT. Dialah yang Maha Mengetahui akan hambaNya. Sekiranya jika mereka tidak bersalah, mengapa perlu takut? Para politik sanggup membelanjakan milliar uang untuk membersihkan image mereka. Mubahalah tidak memerlukan uang tetapi ia bisa mengembalikan keyakinan dan menghilangkan prasangka yang telah ada pada masyarakat.



KESIMPULAN
Mubahalah merupakan syariat dari Allah SWT yang digunakan untuk menentukan mana diantara kedua belah pihak yang berdusta. Rasulullah SAW bersabda, “Lazimilah kejujuran, sebab kejujuran itu akan menunjukkan kepada kebaikan dan kebaikan itu akan menunjukkan kepada surga. Seorang laki – laki yang senantiasa jujur dan melazimi kejujuran akan ditulis disisi Allah sebagai orang yang jujur”.[12]
kejujuran akan menunjukkan perangai yang baik dalam diri seseorang, dan dengan perangai yang baik itu akan membawa dampak positif bagi dirinya dan orang lain. Selain itu, didalam kejujuran juga terdapat akhlak yang mulia, yang menghimpun seluruh karakter kebaikan serta perhiasannya orang – orang mulia dan orang – orang baik.
Namun, mengandalkan kejujuran sekarang ini, apalagi melihat reputasi para “pengemban amanah” di negeri ini, sungguh hampir mustahil. Maka dari itu perlu ada pengikat kejujuran tersebut. Salah satunya dengan Sumpah Mubahalah. Dengan demikian, apabila Sumpah Mubahalah ini diterapkan dalam lini pemerintahan diharapkan bisa memberikan solusi yang tepat bagi mereka para pengemban amanah tersebut untuk tidak bersumpah hanya dimulut saja. Dengan diterapkannya sumpah mubahalah tersebut insya Allah tidak akan ada orang yang berani melanggar, karena inti dari mubahalah itu adalah meminta laknat dari Allah SWT, sehingga dengan demikian insya Allah dalam susunan pemerintahan yang ada di Indonesia ini menjadi pemerintahan yang benar – benar jujur, menjadi Negara yang benar – benar mengedepankan moral dalam memegang amanah sehingga terwujudlah negeri yang Baldatun, Thayyibatun, wa Rabbun Ghafuur.
Dari beberapa contoh yang dikemukakan pada pembahasan – pembahasan sebelumnya, diharapkan Konsep Mubahalah dapat ikut andil dalam memecahkan salah satu problematika terbesar pemerintahan saat ini, yaitu masalah kejujuran.  Semoga niat baik kita dikabulkan oleh Allah SWT untuk selanjutnya diperdengarkan kepada para pengemban amanah di negeri ini, yang bukan tidak mungkin, kelak kita juga termasuk diantara mereka. Allah-lah Maha Pemberi Hidayah, dan hanya kepada-Nya kita semua berserah diri.


DAFTAR PUSTAKA

Furi, Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarak, Ar – Rahiqul Makhtum, Riyadh: Darus Salam, 1997
                                                                                , Tafsir Ibnu Katsir / Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri ; penerjemah, Abu Ihsan Al Atsari ; edit isi, Abu Ahsan Sirojuddin ; muraja’ah, tim Pustaka Ibnu Katsir, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006
Itani, Muhammad Khalil, Wasiat Rasul SAW buat Lelaki / Muhammad Khalil Itani ; penerjemah, Ahmad Syakirin, M.A ; edit isi, Wendy Febriangga, Solo: AQWAM, 2007
Munawwir, Ahmad Warson, AL MUNAWWIR KAMUS ARAB – INDONESIA, Surabaya: PUSTAKA PROGRESSIF, 1997
A Partanto, Pius, Al Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: ARKOLA, 1994
http://www.nationmaster.com/graph/gov_cor-government-corruption, 19:30, 29/04/2011
http://www.ipislam.edu.my/, 11:10, 01/05/2011
http://www.nahimunkar.com/minta-diundang-mui-dan-siap-mubahalah-dengan-ldii/, 14:15, 30/04/2001
http://beta.hukumonline.com/quart/berita/baca/hol19658/pemerintah-ingin-hindari-kesan-negatif-pemberantasan-korupsi, 11:10, 01/05/2011
http://agguss.wordpress.com/2009/07/08/mubahalah-irena-handono-vs-diki-candra/, 15:04, 01/05/2011
http://drradzi.protajdid.com/?p=3, 15:37, 01/05/2011







[1] http://www.nationmaster.com/graph/gov_cor-government-corruption, 19:30, 29/04/2011

[2] Ahmad Warson Munawwir, AL MUNAWWIR KAMUS ARAB – INDONESIA, (Surabaya: PUSTAKA PROGRESSIF, 1997) hlm. 115.

[3] Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarak Furi, Tafsir Ibnu Katsir, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006) hlm. 185 – 190.

[4] http://drradzi.protajdid.com/?p=3, 15:37, 01/05/2011
[5] http:// drradzi.protajdid.com/?p=3, 15:37, 01/05/2011
[6] http:// drradzi.protajdid.com/?p=3, 15:37, 01/05/2011
[7] http://agguss.wordpress.com/2009/07/08/mubahalah-irena-handono-vs-diki-candra/, 15:04, 01/05/2011

[8] http://beta.hukumonline.com/quart/berita/baca/hol19658/pemerintah-ingin-hindari-kesan-negatif-pemberantasan-korupsi, 11:10, 01/05/2011

[9] http://www.nahimunkar.com/minta-diundang-mui-dan-siap-mubahalah-dengan-ldii/, 14:15, 30/04/2001
[10] http://www.ipislam.edu.my/, 11:10, 01/05/2011

[11] (Bil. Fatwa: 6238) Dipetik dari nahimungkar.com.
[12] Itani, Muhammad Khalil, Wasiat Rasul SAW buat Lelaki, (Solo: AQWAM, 2007) hlm. 42
Loading...

0 Response to "KONSEP MUBAHALAH SEBAGAI SOLUSI MENGATASI KRISIS KEJUJURAN BANGSA"

Post a Comment