a. Pensyaratan
Wali Nikah dalam Pernikahan
Para
ulama berselisih pendapat mengenai apakah wali merupakan syarat sahnya nikah
atau tidak?, terdapat beberapa pendapat mengenai ini, namun pendapat yang
paling kuat dalil dan segi pengambilan dalilnya ada dua, yaitu:
- jumhur ulama, berpendapat bahwa wali disyariatkan dalam pernikahan, dan perempuan tidak bisa menikahkan dirinya sendiri. Ibnu Mundzir menyatakan bahwa ia tidak mengetahui ada sahabat yang menyelisihi pendapat ini.
- Abu Hanifah berpendapat, bahwa wali tidak di syaratkan dalam pernikahan secara mutlak dan seorang perempuan yang telah baligh lagi berakal, sudah bisa menikahkan dirinya sendiri dan perempuan lain[1]
Segi
pengambilan dalil:
Ulama
hanafiyah mendasarkan pendapatnya dengan:
2.
Al-Qur’an
Telah
terdapat pada ayat yang secara tidak langsung menunjukkan hak pernikahan kepada
wanita. Dan adapun dasar tentang hak ini adalah fa’il haqiqi yang
terdapat pada ayat berikut:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ
حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Artinya : “Kemudian jika dia menceraikannya (setelah
talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia
menikah dengan suami lain.”
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ
فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ
Artinya
: “Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai iddahnya, maka
jangan kamu halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya.”
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Kemudian apabila telah sampai (akhir) iddah
mereka, maka tidak dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri
mereka menurut cara yang patut.”
Ketiga ayat ini
jelas menunjukkan bahwa nikah, rujuk, dan apapun yang dilakukan wanita pada
dirinya sendiri selama itu baik adalah timbul dari wanita itu sendiri dan ini
juga berakibat pula pada tidak tergantungnya nikah pada izin wali yang
mengakadnya.
1.
As-sunnah
Pertama, diriwayatkan
oleh Jama’ah kecuali Al-Bukhari:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا ،
وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ "
Artinya:
Dari Ibnu Abbas R.A. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Janda lebih berhak
terhadap dirinya sendiri daripada walinya. Dan seorang perawan dimintai izin
terlebih dahulu.”
Didalam riwayat lain disebutkan:
الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا
Artinya:
“Janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri.”
Dan ada pula riwayat dari Abu Dawud dan An-Nasa’i:
لَيْسَ لِلْوَلِىِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ
وَالْيَتِيمَةُ تُسْتَأْمَرُ وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا
Artinya:
“Seorang wali tidaklah memiliki hak terhadap janda. Adapun wanita yatim maka
dimintai pertimbangan. Dan diamnya adalah persetujuannya.”
Adapun segi
istidlalnya adalah bahwa hadist ini menciptakan adanya hak bagi wanita terhadap
dirinya sendiri. Dan menafikan hak bagi orang lain didalam urusan-urusan yang
berkitan dengan pernikahannya. Dan ini memberikan hak bagi wanita untuk memilih
pasangan dan mengakad dirinya sendiri didalam pernikahannya. Adapun perawan
karena sikap malu-malunya terhadap laki-laki dan adat malu-malu ini mencegah
untuk mengatakan secara jelas apakah ia setuju atau tidak, maka As-Syari’
memberikan keringanan dengan mencukupkan
isyarat yang menunjukkan persetujuannya. Dan bukanlah penjelasan ini dengan
konsekuensi penjelasanya menunjukkan bahwa As-Syari’ menghilangkan haknya untuk
mengakad dirinya sendiri secara langsung yang sebenarnya berdasarkan Qawa’idul
Ahliyah secara umum itu telah menetapkan kemampuannya untuk mengakad
dirinya sendiri. Tapi nikah itu tetap menjadi haknya sebagaimana juga telah
tetap juga pada janda. Namun perawan memang memiliki kekhususan tersendiri.
Kedua, hadist tentang pernikahan Nabi SAW dengan Ummu Salamah yang
ketika itu beliau mengutus seseorang untuk mengkhitbahnya. Kemudian Ummu
Salamah berkata: “Aku tidak memiliki wali yang bisa hadir dalam pernikahan.”
Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah karena tidak hadirnya wali ini
membuat hal ini dibenci oleh Allah SWT.” Dari hadist ini menunjukkan bahwa
tidak ada wali Ummu Salamah yang bisa hadir pada saat terjadinya akad
sebagaimana Ummu Salamah katakan. Dan sisi lain dari hadist ini juga
menunjukkan bahwa wali itu tidak memiliki suara atau tidak memberikan pengaruh
ketika telah terpenuhinya syarat kafa’ah(sekufu/sederajat) yang menjadi
keutamaan bahwa syahnya akad itu tidak tergantung pada kehadiran wali untuk
mengakad. Dan perawi pada hadist ini telah bersepakat tentang kedudukan tingkat
derajatnya.
Adapun riwayat
lain yang terdapat tambahan lafal bahwa Ummu Salamah berkata kepada anaknya:
“Ya Umar, nikahkanlah aku dengan Rasulullah SAW.” atau sabda Nabi SAW: “Ya
Umar, nikahkanlah ibumu denganku!” ini tidaklah kuat. Karena anaknya (Umar) pada
waktu itu masih kecil yang belum memiliki kecakapan (ahliyyah) untuk
mengelola suatu hal. Dan adapun perkataan bahwa ini merupakan
kekhususan-kekhususan Nabi SAW ini tertolak. Karena sesuatu yang ditetapkan
sebagai kekhususan Nabi SAW itu membutuhkan dalil yang khusus.
Dalil aqly: bahwa
nikah sama saja dengan jual beli, seorang wanita berhak menjual apa saja yang
dia miliki tanpa perlu adanya wali, maka begitu pula dengan nikah.
I.
Kelompok
yang Mensyaratkan Wali
Para Ulama’ yang
mensyaratkan wali mengambil dalil dari pendapat mereka dengan Al-Qur;an,
As-Sunnah, dan Dalil Aqly.
1.
Al-Qur’an
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ
عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
Artinya; “Dan nikahkanlah
orang-orang yang masih membujang diantara kamu, dan juga orang-orang yang layak
(menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.”
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
Artinya:
“Janganlah kalian nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang
beriman) sebelum mereka beriman.”
Dan dalil yang juga dipakai oleh Hanafiyah
إذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ
فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ
Artinya
: “Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai iddahnya, maka
jangan kamu halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya.”
Adapun istidlal
pada dua ayat pertama adalah bahwa khithab disini mengarah ke wali. Maka ini
menunjukkan bahwa menikah itu adalah hak wali bukan wanita sendiri.
Lalu adapun
istidlal pada dalil yang ketiga adalah bahwa para wali dilarang untuk mencegah
wanita dari menikah dengan orang yang wanita pilih. Para ulama’ disini
mengatakan bahwa pencegahan disini hanya bisa terwujud pada orang yang memiliki
kekuasaan untuk melarang. Dan ini menunjukkan bahwa akad nikah adalah kekuasaan
wali bukan wanita. Para ulama’ disini mengatakan: “Ini telah dikuatkan dengan sababun
nuzul pada ayat ini, mengenai kisah Ma'qal bin Yasar, dimana ia telah
menikahkan saudarinya, namun saudarinya itu ditalak suaminya dengan talak
roj'iy. Suaminya meninggalkannya sampai habis masa iddahnya, namun setelah itu,
si suami hendak ruju' dengan istrinya lagi, tetapi Ma'qal bersumpah tidak akan
menikahkan saudaranya dengan mantan suaminya itu, sehingga turunlah ayat ini.
Dan ini telah diriwayatkan dari Al-Bukhari, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dan
hadist ini telah dishahihkan oleh At-Tirmidzi dari Ma’qal bin Yasar. Dari sebab
ini maka kita ketahui, wali itu dipertimbangkan dalam pernikahan, karena sekiranya
tidak, maka tentu ayat ini tidak mencela perbuatan Ma'qal yang tidak mau
menikahkan saudarinya melainkan akan menjelaskan bahwa perempuan itu bisa
menikahkan dirinya sendiri.”
Jadi sekiranya
wanita itu memiliki hak untuk menikahkan dirinya sendiri. Maka ia akan
melakukannya karena masih cintanya wanita tersebut terhadap suaminya. Oleh
karena itu, jauhlah perkataan orang yang mengatakan bahwa khitab pada ayat ini
adalah untuk para suami.
Dan telah datang pula suatu riwayat dari Ibnu Abbas, ‘Aisyah, Thawus,
Mujahid, dll tentang penafsiran
الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ
Dalam ayat
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ
تَمَسُّوهُنَّ
Artinya;
“Dan jika kalian menceraikan mereka sebelum kalian sentuh (campuri).”
Bahwa itu adalah wali.
2.
As-sunnah
Pertama, diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa’i:
عَنْ أَبِي مُوسَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Artinya:
“Dari Abi Musa, bahwa rasulullah SAW bersabda: “tidak syah suatu pernikahan
kecuali dengan adanya wali."
Hadist ini
dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim. Dan Hakim telah menyebutkan hadist ini
dengan berbagai jalur. Dan ia mengatakan: “Riwayat ini shahih dari istri-istri
Nabi SAW, seperti ‘Aisyah, Ummu Salamah, dan Zainab bin Jahsyin.” Kemudian ia
menguatkannya dengan menyebutkan 30 sahabat. Para ulama’disini lalu mengatakan:
“Ini adalah jelas bahwa nikah itu tidak syah tanpa adanya wali.”
Kedua, diriwayatkan oleh Imam lima kecuali An-Nasa’i:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا , عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ
بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا , فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ , فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا
مَهْرُهَا بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا , فَإِنِ اشْتَجَرُوا , فَالسُّلْطَانُ
وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ "
Artinya:
dari ‘Aisyah R.A. berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan manapun yang
dinikahkan dengan tanpa seizin walinya, maka nikah tersebut batal. Namun jika suami telah mencampurinya maka perempuan
tersebut berhak mendapatkan mahar misly. Lalu jika mereka (tetap) menghalangi.
Maka penguasa adalah wali bagi yang orang yang tidak memiliki wali.”
Ketiga, diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ad-Daruquthny dan Al-Baihaqy:
لا تزوج المرأةُ المرأةَ، ولا تزوج المرأة نفسها، فإن
الزانية هي التي تزوج نفسها
Artinya:
“Seorang perempuan tidak menikahkan perempuan lain, dan tidak (pula) menikahkan
dirinya sendiri. Karena sesungguhnya pezina adalah dia yang menikahkan dirinya
sendiri.”
3.
Dalil
Aqly
Nikah memiliki maksud-maksud
tertentu yaitu mengikat dua keluarga. Dan seorang wanita dengan kekurangan yang
ia miliki berupa kurang bagusnya memilih biasanya lebih mengutamakan
perasaannya, tidak pada logikanya. Maka hal tersebut menutupi timbulnya sisi
kemashlahatan yang dikehendaki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wanita
tersebut tercegah untuk mengakad dirinya sendiri secara
Bantahan-bantahan:
Terhadap hadis di atas yang
dikemukakan oleh jumhur untuk menunjukkan disyaratkannya wali nikah, ulama
Hanafiyah yang tidak mewajibkan adanya wali bagi perempuan
dewasa dan sehat pikirannya, menanggapi hadis-hadis tersebut sebagai berikut:
Hadis لانكاح
الاّ بولىّ ٍ,
mengandung
dua arti, pertama tidak sempurna suatu perkawinan tanpa adanya wali,
tapi bukan berarti tidak sah. Kedua, bila kata “la” itu diartikan tidak
sah, maka arahnya kepada perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya,
karena terhadap dua perempuan tersebut ulama Hanafiyah juga mewajibkan adanya
wali.
Hadis ايّما
امرأة نكحت بغير إِذن وليّها فنكاحها
باطل, bahwa
perkawinan yang batal itu bila perkawinan tanpa izin wali, bukan yang
mengawinkannya hanyalah wali. Hadis yang melarang perempuan mengawinkan dirinya
atau mengawinkan prempuan lain adalah bila perempuan itu masih kecil atau
akalnya tidak sehat, sedangkan wanita yang sudah dewasa boleh saja mengawinkan
dirinya atau mengawinkan orang lain.
Namun menanggapi pernyataan ini, dalam kitab taudhihul ahkam di jelaskan bahwa,
ini merupakan takwil yang sangat jauh, dan sebaiknya ditolak, sebab nash-nash
pada masalah ini sudah sangat jelas sehingga tidak dibutuhkan lagi
takwil-takwil seperti ini.
Jumhur juga membantah pengambilan
dalil golongan hanafiyah :
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ
وَلِيِّهَا ، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ "
Karena
hadits ini justru menetapkan adanya hak wali, hal itu didapat dari isim tafhdil
أَحَقُّ ,
jadi wali juga punya hak, sehingga dapat dikatakan bahwa janda lebih berhak
dari pada wali dari segi ridhonya, sedangkan wali lebih berhak dalam hal
perwaliannya.
Jumhur
juga membantah pengqiyasan hak perwalian bagi seorang wanita dengan hak jual
beli dengan tiga alasan:
1. qiyas itu adalah qiyas dengan
sudah adanya nash sehingga pada asalnya, qiyas itu telah tertolak
2,
di dalam mengqiyas maka syarat yang harus diperhatikan adalah adanya kesama'an
antara dua hukum yang diqiyaskan, sementara nikah dan jual beli ini berbeda,
sebab nikah adalah hal yang sangat dijaga dan diperhatikan, dan juga harus
adanya pertimbangan-peritmbangan yang baik mengenai akibat dari nikah, berbeda
halnya dengan jual beli yang wilayahnya lebih luas, urusannya masih samar dan
keadaannya tidak pasti.
3.
terkadang sebagian akad pernikahan yang telah berlangsung akan menjadi sebuah
kecacatan atau aib bagi keluarga yang lebih besar, yang tidak hanya terjadi
pada salah satu dari pasangan saja. Sehingga wali disini bertindak sebagai
orang yang memperhatikan kebahagian keluarga secara menyeluruh dalam hal
kebaikan ataupun keburukannya.
Analisis
: membaca dan meneliti segala hadits dan segi pengambilan dalil dari kedua
pendapat diatas, maka dapat diketahui, bahwa kedua pendapat ini memiliki dasar
yang sama-sama kuat. Namun jalan yang paling aman dari ke duanya adalah
mempertimbangakan adanya wali, berdasarkan kaedah ushul fiqih "al-kuruuju an
al-Khilafi mustahabbun" (keluar dari perselisihan itu dianjurkan). faedah
ini bisa kita terapkan apabila kita melihat satu jalan yang apabila diamalkan
maka tidak akan terjadi hukum dosa, dan ini bisa diterapkan dalam masalah ini,
karena jika kita mempertimbangkan wali, maka dalam pandangan ulama jumhur hati
itu yang benar, dan dalam pandangan ulama hanafiyah juga dibolehkan, namun jika
kita tidak mempertimbangkannya, maka dalam pandangan jumhur nikahnya batal,
meski dalam pandangan ulama hanafiyah nikahnya sah, dan didasarkan pada
kehati-hatian, sebaiknya wali dalam nikah dipertimbangkan
[1] Di dalam subulus salam, keterangan
mengenai ini di tambah, bahwa jika pernikahannya ternyata tidak sekufu, maka
wali bisa menghalanginya.
Loading...
2 Responses to "Perselisihan Ulama Seputar Wali Nikah"
Bapaknya bercerai dan kawin lagi,selanjutnya bapaknya menimggal dan ikut ibu tirinya.
Stelah dewasa mau menikah,siapakah yg berhak menjadi walinya sementara ibu kandung tidak di beri kbr akan menikah karena harus menikah di gerebek massa saat berduaan dg laki2 dewasa...???
mohon dijawab segera...trimakasih.
By.arya di manukwari.
Sdr Kris Anti Q, Tanya aja ke Penghulu di KUA setempat, nanti akan dijelaskan secara detil krn mereka tugasnya demikian.
Post a Comment