Salah satu
parameter kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari sejauh mana bangsa itu
memperhatikan masalah pendidikan rakyatnya. Pendidikan di negeri ini telah
berlangsung berpuluh-puluh tahun yang lalu, bahkan semenjak negeri ini belum
terjajah oleh para imperialis. Namun ironisnya output pendidikan pada masa
silam mampu mengangkat negeri ini di kancah Internasional, bahkan Malasyia yang
terkenal dengan menara kembar tertinggi di dunia itu dulu pernah mengirim
putra-putri terbaik bangsanya untuk menuntut ilmu di negeri kita. Kini seiring
dengan perkembangan zaman, akses teknologi dan informasi yang semakin canggih,
persinggungan antar peradaban semakin intens terjadi, hingga tukar-menukar
kebudayaan tak terhindarkan, malah jusru membuat pendidikan negeri ini semakin
kacau dan tidak jelas arah anginnya.
Apa yang terjadi
di negeri kita ini sungguh sangat memprihatinkan, pemerintah hampir tidak lagi
memperhatikan pendidikan rakyatnya hingga lembaga-lembaga pendidikannya hidup
segan mati tak mau. Sementara yang swasta yang tidak disubsidi merasa harus
survive, hingga biaya pendidikan hampir menyentuh langit, menguras kantong-kantong
rakyat. Masalah kualitas, silahkan tanyakan pada mereka yang menganggur??
Suatu argumentasi
logis, jika memang pendidikannya berkualitas, lalu mengapa kondisi bangsa ini
semakin terpuruk, banyak yang tak mampu mengecap bangku sekolah, lapangan
pekerjaan makin sempit sementara pengangguran membludak, moral masyarakatnya
semakin terdegradasi, kepercayaan terhadap Yang Maha Kuasa semakin memudar dan
bahkan makin hari semakin mempertanyakan kekuasaan-Nya dan otoritasnya. Efek
dari semua itu adalah meningkatnya kriminalitas dimana-mana, mulai dari yang
berkerah putih hingga yang tak berkerah, mulai dari akar yang besar hingga akar
rumput, dan mulai dari raja yang besar hingga raja-raja kecil. Semuanya telah
tersistematisasi, bahkan dilegalisasikan dalam hukum, hingga mungkin perlu
revolusi untuk mengubahnya karena sangat kompleksnya, bukan hanya reformasi,
apalagi reformasi yang telah berjalan kini mengalami kemogokan. Namun
masalahnya kini adalah siapa yang siap untuk memulainya, dari mana dan kemana
arahnya?
Kita coba lihat
sekilas model pendidikan yang berkembang; ketika kita kecil dulu pasti kita
pernah diajarkan tentang akhlak, etika, norma-norma yang harus diikuti dalam
suatu masyarakat dan sebagainya entah apa namanya, tapi anehnya semua itu
hampir nyaris tak berbekas sama sekali ketika kita dewasa dan bahkan kian
terkikis beriringan dengan berlalunya waktu.
Bukti kecil, sering kita dulu
mendapat soal seperti ini: “jika kita melihat sampah apa yang harus dilakukan”,
dan jawaban pilihannya adalah “a. membiarkannya, b. memungutnya dan
membuangnya, c. menyuruh orang lain memungutnya”, diduga keras kita akan
memilih “b”, itu jawaban kita ketika mengisi soal di sekolah, tapi ketika
pulang sekolah dan kita melihat sampah di jalan, hampir pasti juga kita tak
akan memungutnya seperti ketika kita menjawab soal.
Dalam proses
pembelajaran, murid hanya diposisikan sebagai wadah yang harus terus menerus
diisi, hingga tanpa ada olah pikir dan cerna apa yang sesungguhnya masuk dalam
otaknya. Guru terbiasa berbicara dengan kalimat-kalimat perintah bak firman
Tuhan dan murid wajib mentaatinya, jika tidak, maka bersiaplah untuk
mendapatkan sanksi. Ketika mengajar, guru merasa paling benar dan murid hanya
dipaksa untuk menjawab “ya”, tanpa boleh berbeda, karena baginya berbeda
berarti salah, dan akhirnya murid hanya menjadi pendengar pasif, pendengar
setia yang hanya bisa duduk manis di kelasnya, dan anehnya murid seperti itu
dianggap sebagai murid baik, patuh dan menjadi murid teladan yang patut di
contoh oleh teman-temannya. Model berfikir seperti ini menjadi terbiasa karena hal
ini selalu terjadi dan berlangsung secara kontinyu, apalagi dididik melalui
soal-soal seperti “multiple choice” dan “benar salah” yang hanya mengakui satu
jawaban benar tanpa mentolelir perbedaan pendapat.
Masih banyak
lagi contoh-contoh kecil lain yang seperti itu, pertanyaannya adalah mengapa
hal itu bisa terjadi? Jika model seperti ini terus-menerus terjadi dari
generasi ke generasi, lalu apa yang terjadi pada masa depan kita? Ya, semua itu
terjadi karena yang berlangsung pada lembaga-lembaga pendidikan kita adalah
proses pengajaran, bukan mendidik, hanya transformasi pengetahuan, bukan
penghayatan dan pengamalan, hingga jawaban konkritnya bisa kita lihat pada apa
yang terjadi pada saat ini berupa krisis multidemensi karena proses pendidikan
yang seperti itu telah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu.
Masalah terakhir
adalah bagaimana dengan kita, berada pada dimensi mana kita saat ini?? Silahkan
prediksi sendiri dan bayangkan dalam mimpi-mimpi anda lima tahun kedepan anda akan menjadi apa dan
dalam posisi bagaimana jika proses pendidikan yang berlangsung seperti itu??! (Naufal)
Loading...
0 Response to "Pendidikan di Persimpangan Jalan"
Post a Comment