Berbicara tentang
Indonesia sampai detik ini adalah –tidak luput dari- berbicara tentang Islam di
Indonesia, meskipun hanya karena alasan statistik, demografis dan sosiologis
saja bahwa umat Islam adalah mayoritas di Indonesia. Oleh karena itu, setiap
visi tentang Indonesia
pada dasarnya adalah visi tentang Islam di Indonesia juga, begitu menurut
Nurcholis Madjid.[2]
Namun sebagaimana
pernyataan Presiden Indonesia kedua, Soeharto, pada pidato kenegaraan tanggal
16 Agustus 1966, negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila bukan
negara agama tetapi bukan negara sekular.[3]
Negara Indonesia
tidak mempunyai agama resmi. Meskipun hampir 90 % dari seluruh bangsa Indonesia
beragama Islam,[4]
tetapi Islam bukanlah agama resmi atau negara. Sesuai dengan Kedaulatan Rakyat,
sumber hukum di Indonesia
adalah kehendak rakyat yang tersalurkan melalui lembaga-lembaga legislatif.
Pimpinan negara aadalah seorang warganegara biasa yang dipilih oleh rakyat
secara langsung dan disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagi kepala
negara,[5]
bukan dari kalangan ulama atau pendeta. Dengan demikian, jelas Negara Kesatuan
Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bukanlah negara
agama.
Negara Indonesia juga
bukan negara sekular, dapat terlihat adanya lembaga pemerintahan yang mengurus
masalah kehidupan dan kerukunan beragama yang dikenal dengan Departemen Agama.
Sebenarnya yang disebut sekularisme dalam politik praktis adalah penolakan
terhadap campur tangan negara atau pemerintah di dalam kehidupan keagamaan
rakyat, dan pada waktu yang sama penolakan terhadap campur tangan tokoh-tokoh
atau lembaga-lembaga keagamaan dalam kehidupan kenegaraan atau politik, dengan
kata lain adanya pemisahan antara agama dan negara. Sedangkan apabila diamati,
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia menunjukkan adanya peran
positif agama di dalamnya. Bahkan tokoh Nasionalis Indonesia , Sukarni mengatakan dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia ,
agama justru menjadi motor revolusi, penggerak perjuangan kemerdekaan.[6]
Posisi Indonesia
sebagai posisi tengah antar negara agama dan negara sekular, dianggap oleh
beberapa kalangan sebagai sikap yang tidak berpendirian. Oleh beberapa kalangan
dari umat Islam di Indonesia, sudah seharusnya Indonesia menjadi negara Islam
dan berpedoman kepada al-Qur'an dan hadis, karena mayoritas penduduknya
beragama Islam. Namun di lain pihak, baik dari kalangan Islam dan non Islam,
ada yang mengatakan bahwa seharusnya Indonesia menjadi negara
demokratis, karena jika negara Islam, aspirasi seluruh lapisan masyarakat tidak
terakomodasi. Hingga kinipun, perbincangan masalah negara Islam ini masih
meninggalkan polemik yang tidak kunjung selesai.
Permasalahan lain yang juga mengundang polemik adalah
masalah kepemimpinan di Indonesia .
Sebagian umat Islam menginginkan presiden Indonesia harus beragama Islam,
sedangkan sebagian yang lain tidak mensyaratkan keislamannya, melainkan pada
kapabilitasnya dalam memimpin bangsa, meskipun sejak kemerdekaan RI, dari kursi
presiden pertama Sukarno hingga kelima Megawati Sukarnoputri, belum pernah
diduduki oleh selain Muslim.
Terlebih lagi menjelang Pemilihan Presiden langsung
pertama yang dilaksanakan pada tanggal 5
Juli 2004, para anggota parpol dan tim sukses calon presiden, baik dari
kalangan yang berbasis agama maupun nasionalis gencar mengeluarkan
"fatwa-fatwa"-nya demi kepentingan golongannya. Misalnya tentang
presiden wanita, ada beberapa ulama di Indonesia yang ikut andil dalam
partai politik mengeluarkan fatwanya tentang haramnya presiden wanita,
sedangkan lawan politiknya –padahal berasal dari organisasi keagamaan yang
sama- menyatakan sebaliknya.[7]
Namun yang penting di sini bukanlah ia salat atau tidak
salat. Karena apa pentingnya ia mengerjakan salat –berupa gerakan saja tanpa
penghayatan- tetapi ia berlaku tidak adil. Jika dibandingkan dengan seorang
kafir tetapi ia menjalankan kepemimpinannya denagn penuh adil dan bertanggung
jawab, maka ia lebih baik daripada seorang muslim yang hanya memikirkan
kepentingan perutnya sendiri. Dengan demikian, nilai keadilan yang ditegakkan
dalam masyarakat yang dipentingkan.
Sebenarnya penolakan bangsa Indonesia terhadap ajaran Islam
sebagai dasar negara sebenarnya bukanlah persoalan demokratis atau tidak
demokratis, tetapi mengenai adanya pelabelan Islam dan kesalahpahaman mereka
tentang Islam. Keengganan sebagian bangsa Indonesia menerapkan Islam di dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (politik), adalah karena
mereka menganggap bahwa Islam itu kejam, tidak berperikemanusiaan karena adanya
penerapan hukum qisas, potong tangan, rajam dan lain-lain, yang semua ini
akibat kesalahpahaman dan provokasi dari kalangan musuh Islam yang menimbulkan islamofobia
seperti yang diistilahkan Taufik Abdullah.[8]
Padahal Jika bangsa
Indonesia menyelami kembali ajaran-ajaran Islam dalam al-Qur’an dan hadis, maka
mereka akan menemui bahwa nilai-nilai Islamlah yang mengandung dan menjunjung
tinggi egalitarianisme, demokrasi, partisipasi dan keadilan sosial, yang sesuai
untuk diterapkan dalam kehidupan manusia dalam mewujudkan kehidupan yang
bahagia-sejahtera lahir dan batin, yang sudah dibuktikan pada zaman Nabi
Muhammad. Agama hanya dijadikan sebagai “pelengkap penderita”. Namun yang
telihat di Indonesia
sekarang, agama muncul ketika terjadi gejolak nasional, ístigasah sebagai doa
bersama atau taubat nasional baru diadakan. Adapun roda pemerintahan yang
menyebabkan gejolak itu, justru menginjak-nginjak nilai-nilai agama itu
sendiri.[9]
Kemajemukan Indonesia akan budaya, bahasa dan
agama tidak jauh berbeda dengan kondisi yang ada pada penduduk Madinah ditambah
dengan kaum Muhajirin (umat Islam yang pindah dari Makkah ke Madinah). Malah
justru karena persamaan ini, bangsa Indonesia seharusnya bercermin pada
kehidupan Madinah pasca Hijrah,[10]
yaitu kedemokratisannya, keadilan dan nilai persamaan yang dijunjung tinggi
pada masa Nabi. Jika bangsa Indonesia
menganggap Islam tidak demokratis dan paham kenegaraan yang dianut Indonesia
menurutnya demokratis, maka mengapa Indonesia serasa makin hancur
dengan berbagai gejolak negatif yang muncul. Mestinya bangsa Indonesia
mengamati bahwa Nabi ditunjuk sebagai pemimpin di Madinah bukan karena
keislamannya penduduk Madinah yang ketika itu belum masuk Islam., tetapi karena
kredibilitas kepribadiannya. Ketika Nabi bertindak sebagi pemimpin pun, masih
banyak penduduk Madinah yang tetap bersiteguh dengan agama, yaitu Yahudi dan
Nasrani, dan kepercayaan nenek moyangnya.[11]
Sejauh ini, Negara Indonesia tidak
surut dari kekacauan adalah karena belum tebumukannya keadilan dalam masyarakat
Indonesia .
Masih banyak terjadi kesenjangan sosial yang menimbulkan kecemburuan sosial di
antara seluruh lapisan masyarakat.
Masalah di Indonesia
ditambah dengan lemahnya supremasi hukum di Indonesia . Tindakan KKN (korupsi,
Kolusi dan Nepotisme) yang semakin merajalela dan dilakukan secara
terang-terangan oleh orang pemerintahan dan pemerintahan tidak diusut secara
tuntas, sehingga semakin mengakar dan mentradisi. Pemimpin pemerintahan pun
tidak melakukan tindakan yang riil untuk mengatasi berbagai gejolak di tanah
air, malah mereka sepertinya hanya menikmati gaji presidennya yang cukup untuk
menghidupi 1000 rakyat kecil, dan berjalan-jalan ke luar negeri seolah-olah
tidak mendengar jeritan anak-anak bangsa yang kelaparan.
Jika kita amati, gejolak-gejolak yang terjadi di Indonesia
adalah disebabkan rasa ketidakpuasan warga negara Indonesia terhadap keadaan bangsa
dan negaranya yang membiarkan ketidakadilan bahkan memberikan jalan yang mulus
pada musuh-musuh negara yang hanya ingin mengeruk kekayaan Indonesia . Jika
negara Indonesia
dapat menciptakan keadilan yang menyeluruh dengan keamanan yang merata dan
kesuburan tanah yang berkesinambungan –terlebih karena Indonesia
sebagai negara agraris- seperti yang dikatakan al-Mawardi,>[12]
maka tentunya tidak akan terjadi gejolak yang begitu besar seperti sekarang
ini, krisis multidimensi –yaitu dari krisis moneter hingga krisis moral dan
kepercayaan- akan teratasi.
Jika masalah bangsa Indonesia ini ditarik lagi maka
akan sampai pada akar masalahnya yaitu sikap dan perilaku dari pemimpin yang
terpilih sebagai pemimpin bangsa. Baik-buruknya perilaku bisa merupakan
pengaruh dari perilaku beragamanya. Tapi jika kita lihat pada bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam, ibadah salat yang menjadi sarana komunikasi langsung
dengan Tuhannya hanya dikerjakan karena kewajiban saja bukan kebutuhan,
sehingga yang terlaksana hanya salat secara fisik saja tanpa melibatkan batin.
Akibatnya mereka kurang peka ketika melihat adanya ketidakadilan dan penindasan
dalam masyarakat. Mereka tidak peduli dengan orang lain kecuali dirinya sendiri
dan keluarganya.
Dalam rangka mereformasi pembangunan di Indonesia yang
menurut Amien Rais belum berakhir bahkan baru di mulai,[13] Indonesia merubah beberapa sistem
dalam pemerintahannya. Misalnya dalam pemilihan Presiden yang semula dipilih
oleh MPR (majelis Permusyawaratan Rakyat) dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
sebagai jelmaan rakyat Indonesia secara keseluruhan, dirubah menjadi sistem
pemilihan langsung oleh rakyat.[14] dengan pemilihan Presiden (pilpres) secara
langsung oleh rakyat, diharapkan dapat memenuhi aspirasi rakyat.
Dengan melihat kondisi Indonesia yang bisa dikatakan buruk
ini –karena Indonesia termasuk negara miskin dengan kekayaan alam yang melimpah
ruah- memang dibutuhkan sosok pemimpin yang cukup tangguh untuk membebaskan
rakyat dari ketertindasan berkepanjangan, berpihak kepada rakyat dan mau
membimbingnya dengan nuraninya. Bagi seorang pemimpin, kekuasaan sebenarnya
bukan kesempatan untuk memerintah tetapi merupakan amanah dan tanggung jawab
yang harus dijalankan denagn jujur, berani dan cerdas serta merupakan amanah
melayani masyarkat untuk menjamin serta menyejahterakan orang yang dipimpin.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa Indonesia membutuhkan seorang
pemimpin yang adil.
Akankah Pemilihan Presiden secara langsung ini akan
memunculkan sosok pemimpin yang diidam-idamkan oleh rakyat ? Ataukah yang akan
muncul adalah Pemimpin diktator yang hanya memenuhi nafsu kekuasaannya,
pemimpin yang rajin menumpuk harta untuk kesejahteraan keluarga dan golongannya,
atau pemimpin yang hanya berdiam manis menunggu “emas” datang, atau pemimpin
yang selalu membuat rakyatnya resah akibat pernyataan paginya berubah wujud di
waktu sore. Semua tergantung pada siapa yang rakyat pilih.[15]
Al-Qur’an sudah menjelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 55. Ayat tersebut
menggarisbawahi bahwa ciri pemimpin yang baik adalah : (1) Beriman kepada Allah
SWT, (2) Mendirikan salat, (3) Menunaikan zakat, (4) Tunduk kepada peraturan
dan ketentuan Allah. Syaikh Muhammad Mubarak dalam kitabnya Nizam al-Islam,
menyebutkan ada empat syarat seseorang menjadi pemimpin, yaitu pertama, mempunyai
akidah yang lurus. Kedua, mempunyai wawasan yang luas. Ketiga, mempunyai
dedikasi mengabdi kepada umat. Keempat, mempunyai komitmen yang kuat
terhadap ajaran Islam. Dari segi sinilah, umat Islam perlu meninjau dan
mempertimbangkan kembali pilihannya.
Jika pemimpin bangsa menjalankan
amanatnya dengan baik dan semestinya, artinya bisa berbuat adil, maka tentunya
rakyat tidak akan menentang, bahkan justru mendukungnya. Namun ketika pemimpin
berbuat salah, rakyatpun tidak langsung menentang bahkan menumbangkannya,
karena hal yang mungkin terjadi bahwa ia melakukannya saat ia khilaf, yang
tidak diinginkannya. Seharusnya persatuan diutamakan. Selama hukum dan keadilan
ditegakkan, maka itu berarti pengurus negara masih menjalankan amanatnya dengan
baik, sehingga rakyatpun harus mentaatinya.
[1]
Indonesia Kekinian di sini dimaksudkan pada kondisi pemerintahan saat ini yaitu
pemerintahan Presiden Megawati yang juga dikaitkan dengan
pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
[2]
Nurcholish Madjid, opcit., hlm. xv.
[3] Munawir
Sjadzali, Islam: Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa (Jakarta:
UI Press, 1993), hlm. 80.
[4] Walaupun
hanya bisa dikatakan sebagai kelompok mayoritas (numerical majority)
bukan minoritas teknis (technical minority). Lihat: Nurcholis Madjid, op.cit.,
hlm. 45.
[5] Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Perubahan
Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat (dalam Satu Naskah) (Yogyakarta :
Media Pressindo, 2002), hlm. 6-7.
[6] Munawir
Sjadzali, op.cit., hlm. 82-85.
[7] Kompas,
5 Juni 2004, hlm. 6; Kompas, 8 Juni 2004 hlm. 4.
[8] Abu
Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 1.
[9]
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis
(Magelang: Indonesiatera, 2001), hlm. 119.
[10]
Nurcholis Madjid, op.cit., hlm. 45.
[11] Akram
Ziauddin Umari, Masyarakat Madani, terj. Mun'im A. Sirry (Jakarta: Gema
Insani Press, 1999), hlm. 31.
[12] Ibid.,
hlm. 42.
[13] Kompas,
4 Juni 2004, hlm. 1.
[14]
Berdasarkan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 6 A ayat 1 yang
berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasanagn secara
langsung oleh rakyat. Perubahan ini merupakan perubahan ketiga yang disahkan
pada tanggal 10 November
2001 . Lihat: Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Perubahan
Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat (dalam Satu Naskah) (Yogyakarta :
Media Pressindo, 2002), hlm. 7.
[15] Namun
dalam pemilihan ini, rakyat –terlebih rakyat miskin- sering dibuat dilematis,
karena harapan-harapan bahkan “bantuan” dari calon presiden bersama tim
suksesnya yang bermain kotor, menjadikannya bingung dalam menjatuhkan pilihan.
Namun tentunya bangsa Indonesia
tidak perlu berkecil hati, malah harus optimis bahwa pemilihan ini akan membawa
bangsa kepada Indonesia
baru.
Loading...
1 Response to "Fenomena Kepemimpinan dalam Dunia Politik Indonesia Kekinian"
Tradisi lama feodalisme, penganut sms (senang melihat orang susah) masih membudaya itulah wajah kepemimpinan saat ini? Tidak sadar dampaknya fatal, contoh kecil saja di bidang OR???? makin terpuruk saja tuh....
Post a Comment