Kepemimpinan (leadership) adalah
kegiatan manusia dalam kehidupan. Secara etimologi, kepemimpinan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “pimpin” yang jika mendapat
awalan “me” menjadi “memimpin” yang berarti menuntun, menunjukkan
jalan dan membimbing. Perkataan lain yang sama pengertiannya adalah mengetuai,
mengepalai, memandu dan melatih dalam arti mendidik dan mengajari supaya dapat
mengerjakan sendiri. Adapun pemimpin berarti orang yang memimpin atau mengetuai
atau mengepalai. Sedang kepemimpinan menunjukkan pada semua perihal dalam
memimpin, termasuk kegiatannya.[1]
Kepemimpinan
adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan yang dipimpin.
Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil dari interaksi
otomatis di antara pemimpin dan individu-individu yang dipimpin
(ada relasi inter-personal). Kepemimpinan ini bisa berfungsi atas
dasar kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakkan orang
lain guna melakukan sesuatu demi pencapaian satu tujuan tertentu. Dengan
demikian, pemimpin tersebut ada apabila terdapat satu
kelompok atau satu organisasi.[2]
Sebenarnya
kepemimpinan merupakan cabang dari ilmu administrasi[3],
khususnya ilmu administrasi negara. Ilmu administrasi adalah salah satu cabang
dari ilmu-ilmu sosial, dan merupakan salah satu perkembangan dari filsafat.
Sedang inti dari administrasi adalah manajemen[4]. Dalam
kaitannya dengan administrasi dan manajemen, pemimpinlah yang menggerakkan semua
sumber-sumber manusia, sumber daya alam, sarana, dana dan waktu secara
efektif-efisien serta terpadu dalam proses manajemen dalam suatu kelompok atau
organisasi.. Keberhasilan suatu organisasi atau kelompok dalam mencapai tujuan
yang ingin diraih, bergantung pada kepemimpinan seorang pemimpin. Jadi
kepemimpian menduduki fungsi kardinal dan sentral dalam organisasi, manajemen
maupun administrasi.
Konsep
Kepemimpinan dalam Islam
Istilah
Kepemimpinan dalam Islam ada beberapa bentuk, yaitu khila>fah,
ima>mah, ima>rah, wila>yah, sulta>n, mulk dan ri’a>sah. Setiap
istilah ini mengandung arti kepemimpinan secara umum. Namun istilah yang sering
digunakan dalam konteks kepemimpinan pemerintahan dan kenegaraan, yaitu Khila>fah,
ima>mah dan ima>rah.[5] Oleh
karena itu, pembahasan kepemimpinan dalam Islam akan diwakili oleh ketiga
istilah ini.
Khila>fah
Kata khila>fah berasal
dari kata khalafa-yakhlifu-khalfun yang berarti al-‘aud} atau al-balad yakni
mengganti, yang pada mulanya berarti belakang. Adapun pelakunya yaitu orang
yang mengganti disebut khali>fah dengan bentuk jamak khulafa>’ [6] yang
berarti wakil, pengganti dan penguasa.[7]
Kata khali>fah sering
diartikan sebagai pengganti, karena orang yang menggantikan datang sesudah
orang yang digantikan dan ia menempati tempat dan kedudukan orang tersebut. Khali>fah juga
bisa berarti seseorang yang diberi wewenang untuk bertindak dan berbuat sesuai
dengan ketentuan-ketentuan orang memberi wewenang.[8] Menurut
al-Ragi>b al-Asfah}a>ni>, arti “menggantikan yang lain” yang
dikandung kata khali>fah berarti melaksanakan sesuatu atas
nama yang digantikan, baik orang yang digantikannya itu bersamanya atau tidak. [9]
Istilah
ini di satu pihak, dipahami sebagai kepala negara dalam pemerintahan dan
kerajaan Islam di masa lalu, yang dalam konteks kerajaan pengertiannya sama
dengan kata sultan. Di lain pihak, cukup dikenal pula pengertiannya sebagai
wakil Tuhan di muka bumi yang mempunyai dua pengertian. Pertama,
wakil Tuhan yang diwujudkan dalam jabatan sultan atau kepala negara. Kedua, fungsi
manusia itu sendiri di muka bumi, sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna.[10]
Menurut
M. Dawam Rahardjo, istilah khali>fah dalam al-Qur’an mempunyai
tiga makna. Pertama, Adam yang merupakan simbol manusia sehingga
kita dapat mengambil kesimpulan bahwa manusia berfungsi sebagai khalifah dalam
kehidupan. Kedua, khali>fah berarti pula
generasi penerus atau generasi pengganti; fungsi khali>fah diemban
secara kolektif oleh suatu generasi. Ketiga, khali>fah adalah
kepala negara atau pemerintahan.[11]
Khila>fah sebagai turunan dari kata khali>fah, menurut
Abu> al-A‘la> al-Maudu>di>, merupakan teori Islam tentang negara
dan pemerintahan.[12] Adapun menurut Ibnu
Khald{u>n dalam bukunya Muqaddimah, khila>fah adalah
kepemimpinan. Istilah ini berubah menjadi pemerintahan berdasarkan kedaulatan. Khila>fah ini
masih bersifat pribadi, sedangkan pemerintahan adalah kepemimpinan yang telah melembaga ke dalam
suatu sistem kedaulatan.[13]
Menurut
Imam Baid{a>wi> al-Mawardi> dan Ibnu Khald{u>n, khila>fah adalah
lembaga yang mengganti fungsi pembuat hukum, melaksanakan undang-undang
berdasarkan hukum Islam dan mengurus masalah-masalah agama dan dunia. Menurut
al-Mawardi>, khila>fah atau ima>mah berfungsi
mengganti peranan kenabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia.[14]
Posisi khila>fah ini
mempunyai implikasi moral untuk berusaha menciptakan kesejahteraan hidup
bersama berdasarkan prinsip persamaan dan keadilan. Kepemimpinan dan kekuasaan
harus tetap diletakkan dalam rangka menjaga eksistensi manusia yang bersifat
sementara.
Menurut Bernard
Lewis, istilah ini pertama kali muncul di Arabia pra-Islam
dalam suatu prasasti Arab abad ke-6 Masehi. Dalam prasasti tersebut, kata khali>fah tampaknya
menunjuk kepada semacam raja muda atau letnan yang bertindak sebagai wakil
pemilik kedaulatan yang berada di tempat lain. Sedangkan setelah Islam datang,
istilah ini pertama kali digunakan ketika Abu> Bakr yang menjadi khalifah
pertama setelah Nabi Muhammad. Dalam pidato inagurasinya, Abu> Bakr menyebut
dirinya sebagai Khali>fah Rasu>lulla>h yang berarti
pengganti Rasulullah.[15] Menurut Aziz Ahmad,
istilah ini sangat erat kaitannya dengan tugas-tugas kenabian yaitu meneruskan
misi-misi kenabian.[16]
Khila>fah dalam perspektif politik Sunni> didasarkan
pada dua rukun, yaitu konsensus elit politik (ijma') dan pemberian legitimasi
(baiat). Karenanya, setiap pemilihan pemimpin Islam, cara yang digunakan adalah
dengan memilih pemimpin yang ditetapkan oleh elit politik, setelah itu baru
dilegitimasi oleh rakyatnya. Cara demikian menurut Harun nasution, menunjukkan
bahwa khila>fah bukan merupakan bentuk kerajaan, tetapi
lebih cenderung pada bentuk republik, yaitu kepala negara dipilih dan tidak
mempunyai sifat turun temurun.[17]
Dalam
masalah khila>fah, terdapat tiga teori utama, yaitu
pendapat pertama menyatakan bahwa pembentukan khila>fah ini
wajib hukumnya berdasarkan syari’ah atau berdasarkan wahyu. Para ahli
fiqh Sunni, antara lain Teolog Abu> H}asan al-Asy‘ari>, berpendapat bahwa khila>fah ini
wajib karena wahyu dan ijma’ para sahabat. Pendapat kedua, antara lain
dikemukakan oleh al-Mawardi>, mengatakan bahwa mendirikan sebuah khila>fah hukumnya
fardu kifayah atau wajib kolektif berdasarkan ijma’ atau konsensus.
Al-Gazali> mengatakan bahwa khila>fah ini merupakan wajib
syar'i berdasarkan ijma’. Teori terakhir adalah pendapat kaum Mu‘tazilah yang
mengatakan bahwa pembentukan khila>fah ini memang
wajib berdasarkan pertimbangan akal. [18]
Ima>mah
Ima>mah berasal dari akar kata amma-yaummu-ammun yang
berarti al-qas}du yaitu sengaja, al-taqaddum yaitu
berada di depan atau mendahului, juga bisa berarti menjadi imam atau pemimpin
(memimpin). Ima>mah di sini berarti perihal memimpin.
Sedangkan kata ima>m merupakan bentuk ism fa>’il yang
berarti setiap orang yang memimpin suatu kaum menuju jalan yang lurus ataupun
sesat. Bentuk jamak dari kata ima>m adalah a’immah.[19]
Ima>m juga berarti bangunan benang yang diletakkan di
atas bangunan, ketika membangun, untuk memelihara kelurusannya. Kata ini juga
berarti orang yang menggiring unta walaupun ia berada di belakangnya.[20]
Dalam
al-Qur’an, kata ima>m dapat berarti orang yang memimpin
suatu kaum yang berada di jalan lurus, seperti dalam surat al-Furq}a>n (25)
ayat 74 dan al-Baqarah (2) ayat 124. Kata ini juga bisa
berarti orang yang memimpin di jalan kesesatan, seperti yang ditunjukkan dalam surat al-Taubah ayat
12 dan al-Qas}as} (28) ayat 41. Namun lepas dari semua arti
ini, secara umum dapat dikatakan bahwa ima>m adalah seorang
yang dapat dijadikan teladan yang di atas pundaknya terletak tanggung jawab
untuk meneruskan misi Nabi SAW. dalam menjaga agama dan mengelola serta mengatur
urusan negara.[21]
Term ima>mah sering
dipergunakan dalam menyebutkan negara dalam kajian keislaman. Al-Mawardi>
mengatakan bahwa ima>m adalah khalifah, raja, sultan atau
kepala negara. Ia memberi pengertian ima>mah sebagai
lembaga yang dibentuk untuk menggantikan Nabi dalam tugasnya menjaga agama dan
mengatur dunia.[22] Sebagai tokoh perumus konsep ima>mah,
ia menggagas perlunya ima>mah, dengan alasan, pertama adalah
untuk merealisasi ketertiban dan perselisihan. Kedua, berdasarkan
kepada surat al-Nisa>’ (4) ayat 59, dan kata uli>
al-amr menurutnya adalah ima>mah.[23]
Adapun
Taqiyuddi>n al-Nabh}a>ni> menyamakan ima>mah dengan khila>fah.
Menurutnya, khila>fah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh
kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban
dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.[24] Adapun
al-Taftaza>ni> menganggap ima>mah dan Khila>fah adalah
kepemimpinan umum dalam mengurus urusan dunia dan masalah agama.[25]
Menurut
Ibnu Khald}un, ima>mah adalah tanggung jawab umum yang
dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan
akhirat bagi umat yang merujuk padanya. Oleh karena kemaslahatan akhirat adalah
tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada
syariat.[26] Adapun penamaan sebagai imam untuk
menyerupakannya dengan imam salat adalah dalam hal bahwa keduanya diikuti dan
dicontoh.[27]
Pada
dasarnya teori ima>mah lebih banyak berkembang di
lingkungan Syi’ah daripada lingkungan Sunni. Dalam lingkungan Syi’ah, imamah menekankan
dua rukun, yaitu kekuasaan ima>m (wila>yah) dan
kesucian ima>m (‘ismah).[28] Kalangan
Syi’ah menganggap ima>mah adalah kepemimpinan agama dan
politik bagi komunitas muslim setelah wafatnya Nabi, yang jabatan ini dipegang
oleh Ali> bin Abi> T{a>lib dan keturunannya, dan mereka maksum.
Istilah
ini muncul pertama kali dalam pemikiran politik Islam tentang kenegaraan yaitu
setelah Nabi SAW. wafat pada tahun 632 M.[29] Konsep
ini kemudian berkembang menjadi pemimpin dalam salat [30], dan –setelah diperluas lingkupnya- berarti pemimpin
religio-politik (religious-political leadership) seluruh komunitas
Muslim, dengan tugas yang diembankan Tuhan kepadanya, yaitu memimpin komunitas
tersebut memenuhi perintah-perintah-Nya. [31]
Menurut
Ali Syariati, tidak mungkin ada ummah tanpa ima>mah. Ima>mah tampak
dalam sikap sempurna pada saat seseorang dipilih karena mampu menguasai massa
dan menjaga mereka dalam stabilitas dan ketenangan, melindungi mereka dari
ancaman, penyakit dan bahaya, sesuai dengan asas dan peradaban ideologis,
sosial dan keyakinan untuk menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk
ideal. Dalam pemikirannya mengenai ima>mah dan khila>fah, Ali
syariati menganggap khilafah cenderung ke arah politik
dan jabatan, sedangkan ima>mah cenderung mengarah ke sifat
dan agama.[32]
Ima>rah
Ima>rah berakar kata dari amara-ya'muru-amrun yang
berarti memerintah, lawan kata dari melarang. Pelakunya disebut ami>r
yang berarti pangeran, putra mahkota, raja (al-ma>lik), kepala atau
pemimpin (al-ra’i>s), penguasa (wa>li>). Selain itu juga
bisa berarti penuntun atau penunjuk orang buta, dan tetangga. Adapun bentuk
jamaknya adalah Umara>’. [33]
Kata amara muncul
berkali-kali dalam al-Qur’an dan naskah-naskah awal lainnya dalam pengertian
“wewenang” dan “perintah”. Seseorang yang memegang komando atau menduduki suatu
jawaban dengan wewenang tertentu disebut s}a>h}ib al-amr, sedangkan
pemegang amr tertinggi adalah ami>r.
Pada
masa-masa akhir Abad Pertengahan, kata sifat ami>ri> sering
digunakan dalam pengertian “hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan atau
administrasi”. Sementara itu, di Imperium Turki, bentuk singkat kata ini adalah miri, dengan
terjemahan bahasa Turkinya adalah beylik, menjadi kata yang umum
digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, publik atau
resmi. Kata miri juga digunakan untuk menunjukkan
perbendaharaan kekayaan negara, kantor-kantor perdagangan pemerintah dan
barang-barang milik pemerintah pada umumnya.[34]
Seorang amir adalah seorang yang memerintah,
seorang komandan militer, seorang gubenur provinsi atau –ketika posisi
kekuasaan diperoleh atas dasar keturunan- seorang putra mahkota. Sebutan ini
adalah sebutan yang diinginkan oleh berbagai macam penguasa yang lebih rendah
tingkatannya, yang tampil sebagai gubenur provinsi dan bahkan kota yang
menguasai wilayah tertentu di kota. Sebutan ini pula bagi mereka yang
merebut kedaulatan yang efektif untuk diri mereka sendiri, sambil memberikan
pengakuan simbolik yang murni terhadap kedaulatan khali>fah sebagai
penguasa tertinggi yang dibenarkan dalam Islam.
Istilah ami>r ini
pertama kali muncul pada masa pemerintahan 'Umar bin al-Khat}t}a>b.
'Umar menyebut dirinya sebagai amir al-mukminin yang
berarti pemimpin kaum yang beriman.
[1] Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1999), hlm. 769.
[2] Kartini Kartono, Pemimpin dan
Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal itu ? (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1998), hlm. 5.
[3] Administrasi adalah keseluruhan proses kerjasama
antara dua orang manusia atau lebih berdasarkan atas rasionalitas tertentu
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Lihat: ibid., hlm.
11.
[4] Manajemen adalah aktifitas dalam organisasi yang
terdiri dari penentuan tujuan-tujuan (sasaran) suatu organisasi dan penentuan
sarana-sarana untuk mencapai sasaran secara efektif. Lihat: ibid.
[5] Ketiga istilah ini merupakan bentuk kata yang
menyatakan perihal dalam memimpin, sedangkan bentuk kata yang menunjuk pada
pelakunya adalah khali>fah, ima>m dan ami>r.
[6] Al-Ima>m al-Alla>mah Abi> Fad}l
Jama>l al-Di>n Muh{ammad bin Mukram ibn Manz}u>r al-Afri>qi>
al-Mis}ri> (selanjutnya disebut al-Mis}ri>), Lisa>n al-‘Arab,
jilid IX (Beiru>t: Da>r al-S}a>dir, 1992), hlm. 82-83; Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta:
[t.p.], 1984), hlm. 390-391; Taufiq Rahman, Moralitas Pemimpin dalam
Perspektif al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 21.
[7] Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara:
Perspektif Modernis dan Fundamentalis (Magelang: Indonesiatera, 2001),
hlm. 30.
[8] Taufiq Rahman, op.cit., hlm.
22.
[9] Ibid.
[10] M. Dawam Rahardjo, loc.cit.
[11] Ibid., hlm. 357.
[12] Abul A’la al-Maududi, Hukum dan
Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat. (Bandung:
Mizan, 1995), hlm. 168-173.
[13] Ibnu Khald}u>n, Muqaddimah (Beiru>t:
Da>r al-Fikr, [t.t.]), hlm. 190.
[14] M. Dawam Rahardjo, op.cit., hlm.
358.
[15] Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, terj.
Ihsan Ali-Fauzi (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 50; Glenn E. Perry, “Caliph”, The
Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, II, hlm. 239
[16] Kamaruzzaman, op.cit., hlm 30.
[17] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 95.
[18] M. Dawam Rahardjo, op.cit., hlm.
362.
[19] Al-Mis}ri>, op.cit., jilid
XII, hlm. 22-26; Ahmad Warson Munawwir, op.cit., hlm. 42-44;
Taufiq Rahman, op.cit., hlm. 39.
[20] Al-Mis}ri>, loc.cit.; Ahmad
Warson Munawwir, loc.cit.; Taufiq Rahman, loc.cit.
[21] Taufiq Rahman, ibid., hlm. 42.
[22] Al-Mawardi>, al-Ah}ka>m
al-Sult}a>niyyah (Beiru>t: Da>r al-Fikr, [t.t]), hlm. 3.
[23] Kamaruzzaman, op.cit., hlm 41.
[24] Ibid., hlm. 32.
[25] Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik
Islam, terj. Abdul Hayyie al-Kattam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001),
hlm. 86.
[26] Ibnu Khald}u>n, op.cit.,
hlm. 159
[27] Ibid.
[28] Dawam Rahardjo, op.cit.,hlm. 475.
[29] Abdulaziz Sachedina, “Imamah”, The
Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, II, hlm. 183.
[30] Berasal dari sebuah akar kata
yang berarti di depan, arti imam berkembang menjadi pemimpin dalam salat atau sembahyang. Lihat:
Bernard Lewis, op.cit., hlm. 44.
[31] Ibid.
[32] Ali Syariati, Ummah dan
Imamah, terj. Afif Muhammad (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989), hlm. 53.
[33] Al-Mis}ri>, op.cit., jilid
XII, hlm. 26-31; Ahmad Warson Munawwir, op.cit., hlm. 41-42.
[34] Bernard Lewis, op.cit., hlm.
47.
Loading...
0 Response to "Konsep Kepemimpinan Dalam Islam"
Post a Comment