Pengertian Salat
Kata salat adalah bentuk ism masdar dari s}alla>
- yus}alli> - s}ala>h. Kata salat dari segi bahasa mempunyai arti
beragam, yaitu doa, rahmat, ampunan, sanjungan Allah kepada Rasulullah SAW.,
dan berarti ibadah yang di dalamnya terdapat rukuk dan sujud.[1] Keragaman arti salat di atas adalah berdasarkan dengan fenomena dan konteks
yang ada dalam al-Qur’an, yaitu “doa dan ampunan” dalam Q.S. Al-Taubah (9) ayat
103, “berkah” dalam Q.S. Al-Baqarah
(2) ayat 157, sedangkan arti salat
sebagai ibadah yang di dalamnya terdapat rukuk dan sujud banyak sekali ayat
al-Qur’an yang menjelaskannya.
Beragamnya arti salat
di atas dapat dirumuskan menjadi arti salat secara bahasa yaitu
suatu doa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon ampunan-Nya,
mensyukuri nikmat, menolak bencana, atau menegakkan suatu ibadah.[2]
Term salat dalam arti doa dan ampunan telah digunakan
sejak zaman Jahiliyyah. Namun demikian, term aqi>mu>
al-s}ala>h menurut Hasbi Ash-Shiddieqy tidak menunjuk kepada makna yang telah
dikenal pada zaman Jahiliyyah itu, tetapi menunjuk kepada yang diistilahkan
oleh syariat agama.[3]
Menurutnya, salat berarti berdoa
dan memohon kebajikan kepada Allah dan pujian. Namun secara hakekat, salat merupakan upaya berhadap hati
(jiwa) kepada Allah dan mendatangkan rasa takut kepada-Nya serta menumbuhkan di
dalam jiwanya, rasa keagungan, kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya.[4]
Menurut pandangan Ahli Fiqh, salat merupakan ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya dengan
bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang dimulai dengan takbir dan
ditutup dengan taslim, dengan runtutan dan tartib tertentu yang ditetapkan oleh
agama Islam.[5]
Menurut Nurcholish Madjid, takbir salat yang dinamakan takbi>rah
al-ih}ra>m berarti takbir yang mengharamkam. Setelah seseorang
telah melakukan takbir, diharamkan baginya melakukan perbuatan atau tindakan
yang di luar ketentuan salat.
Seluruh jiwa dan raga terkonsentrasi penuh dan hanya tertuju kepada Allah.
Dalam melakukan salat, tidak
dibenarkan melakukan hubungan horizontal (h}abl
min al-na>s), kecuali dalam keadaan terpaksa. Keadaan ini merupakan
bentuk kekhusyukan dan keinsyafan manusia dalam melakukan pengabdian kepada
Allah (h}abl min
Alla>h) yang merupakan ciri dari salat yang sempurna.[6]
Pembacaan doa iftitah dalam salat menurut Nurcholish, mengandung pengertian bahwa
menghadapkan wajah kepada Allah sebagai tanda kepasrahan manusia sebagai hamba,
dan berharap agar tidak dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang
menyekutukan-Nya. Adapun kegiatan salat
yang diakhiri dengan taslim atau salam, mengandung pengertian bahwa keselamatan
dan kesejahteraan itu untuk orang banyak, baik yang ada di depan maupun di
sekitarnya. Salam pun merupakan pernyataan solidaritas sosial yang mengandung
dimensi “kemanusiaan”.[7]
Salat
dalam pandangan Nasaruddin Razak, merupakan suatu sistem ibadah yang tersusun dari
beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan
salam, berdasarkan atas syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu. Melaksanakan
salat adalah fardu ain atas tiap-tiap muslim yang balig (dewasa).[8] Sedangkan menurut Harun Nasution, dalam salat telah terjadi dialog antara
manusia dengan Allah dengan saling berhadapan. Dialog dengan Tuhan ini wajib
dilakukan oleh manusia sebanyak lima
kali sehari-semalam.[9]
Kewajiban salat
memang telah dijelaskan dalam al-Qur’an, akan tetapi masih bersifat umum.
Penjelasan salat secara detail
dinyatakan dalam hadis Nabi SAW. Sistem salat
yang kita lakukan sekarang adalah sistem salat
yang diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi kepada generasi pertama kemudian
diwariskan secara turun temurun tanpa mengalami perubahan dan hingga kini telah
berjalan kurang lebih 14 abad. [10]
Setiap muslim dikenai kewajiban salat. Hal ini mengacu kepada awal proses penciptaan manusia,
sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surat
al-Za>riyat> (51) ayat 56
: ”Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku…”.[11]
Dalam ayat ini tersirat pengertian bahwa manusia memang diberi kewajiban untuk
mengabdi kepada Allah. Namun kata li
ya‘budu>n dalam ayat tersebut, sama sekali tidak mengandung maksud
bahwa Allah membutuhkan pengabdian dari manusia (ibadah). Allah memiliki sifat
Maha Sempurna sehingga tidak membutuhkan apapun dari manusia. Oleh karena itu,
secara hakikat kata ya‘budu>n
kurang tepat jika diberi makna beribadah, memuja, mengabdi apalagi menyembah.
Makna yang lebih tepat adalah tunduk dan patuh, sehingga konotasi yang
terkandung bukan lagi ada hasrat Allah untuk disembah oleh manusia. Dengan
demikian, keberadaan manusia terhadap Tuhan adalah tunduk, patuh dan menjaga
diri dari hukuman Tuhan di hari kiamat. Jika manusia ingin selamat dari hukum
Tuhan, maka manusia harus mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya.[12]
Tujuan ibadah salat
dalam Islam pada prinsipnya bukan menyembah, melainkan untuk tunduk dan patuh
dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah, agar manusia selalu berada dalam lindungan-Nya, dan jiwanya senantiasa
terjaga dari hal-hal yang kotor sehingga
menjadi bersih dan suci. Jiwa yang suci akan memiliki ketajaman untuk membawa
kepada perbuatan yang saleh dan luhur. Dengan demikian, tujuan ibadah salat semata-mata untuk tunduk dan
patuh serta mendekatkan diri kepada Zat
Yang Maha Suci dan menjauhkan diri dari segala perbuatan maksiat dan
kotor.
Fungsi Salat
Salat
merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan wajahnya kepada
Allah sebagai Zat Yang Maha Suci. Apabila salat itu dilakukan secara tekun dan konsisten, maka dapat
menjadi alat pendidikan rohani yang efektif dalam memperbaharui dan memelihara
jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan kesadaran. Makin banyak salat itu dilakukan dengan kesadaran
dan bukan dengan keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani itu dilatih
menghadap Zat Yang Maha Suci yang efeknya akan membawa kepada kesucian rohani
dan jasmani. Kesucian pada rohani dan jasmani ini akan memancarkan akhlak yang
mulia dan budi pekerti serta sikap hidup yang penuh dengan amal saleh. Ia akan
terhindar dari perbuatan-perbuatan jahat, keji serta maksiat.[13]
Salat akan
mendidik manusia untuk bersikap disiplin, pandai menghargai waktu dan teratur
dalam hidup. Kewajiban salat lima waktu sehari-semalam
(24 jam) akan membimbing manusia untuk belajar menghargai waktu dan menghormati
waktu, sehingga tidak mudah menghamburkan waktu tanpa ada manfaat yang berguna.
Kegiatan berwudu (bersuci) dengan menggunakan air bersih
bahkan mandi terlebih dahulu sebelum melakukan salat sangat berguna untuk menyegarkan kondisi fisik yang sedang
lesu dan kecapekan, ditambah dengan melakukan salat,
niscaya kelesuan rohani dan pikiran akan terobati dan akhirnya menjadi segar
kembali.
Dimensi lain dari salat
adalah memiliki fungsi sebagai sarana memohon pertolongan di kala manusia
sedang membutuhkan pertolongan-Nya.[14]
Meskipun Allah adalah Maha Pengasih dan
Penyayang, namun sebagai seorang yang beriman, tentu kita sadar bahwa kasih dan
sayang Allah itu tidak mudah diperoleh begitu saja. Ketaatan dan ketakwaan
manusia turut mempengaruhi mudahnya perolehan sifat Pengasih dan Penyayang
Allah tersebut.[15]
Menurut pandangan para ahli, baik dari kalangan psikolog
maupun ahli kesehatan, salat
itu mengandung unsur terapeutik bagi kesehatan manusia, di antaranya
adalah unsur olahraga, unsur meditasi, unsur auto-sugesti, unsur kebersamaan,
unsur relaksasi otot, relaksasi indera, unsur katarsi[16],
sarana pembentukan pribadi dan terapi air (hydro therapy).[17]
Menurut H.A. Saboe, gerakan-gerakan yang terkandung dalam salat mengandung banyak unsur
kesehatan bagi jasmani manusia, maka dengan sendirinya akan memberi efek pula
bagi kesehatan baik dari sisi kesehatan ruhaniyah dan mentalnya.[18]
Dimensi lain yang dapat ditemukan dalam salat adalah terciptanya kepribadian
yang teguh pada diri seseorang. salat
yang dilakukan secara rutin setiap waktu (berdasarkan waktu yang telah
ditentukan syariat), dengan sendirinya akan membentuk kepribadian yang teguh
dan disiplin, terutama dalam menciptakan kedisiplinan dalam waktu dan kerja.[19]
Uraian di atas mengetengahkan fungsi salat jika ditinjau dari segi
psikologisnya. Adapun jika dilihat dari dimensi agamanya, salat merupakan perwujudan syukur
seorang hamba atas kenikmatan yang telah diberikan kepadanya yang tiada
putusnya, namun manusia sering melupakannya.[20]
Selain itu, salat
merupakan ujung tombak dari sekian banyak ibadah. Salat pula yang menjadi kunci dari seluruh amal ibadah manusia
di bumi ini. Hal ini karena salat
merupakan ibadah pertama dan utama yang akan dihitung dan dipertanggungjawabkan
di hadapan Allah. Jika salat
seseorang masuk ke dalam kategori “lulus” atau baik, niscaya seluruh amal
ibadah lainnya juga akan “lulus” di sisi Allah. Dengan demikian, salat bisa dikatakan sebagai tiang
agama dan menjadi sesuatu yang sangat penting khususnya bagi setiap muslim.
Salat
juga memiliki implikasi yang baik untuk
manusia, yaitu menjauhkan manusia dari perbuatan jahat dan maksiat. Seorang
yang tekun melakukan salat
niscaya akan terhindar dari segala perbuatan yang tidak terpuji, perbuatan
kotor dan lain sebagainya. Salat
akan memberikan keutamaan yang besar bagi seseorang yang mau mengamalkannya.[21]
Tampaknya uraian di atas memang benar apabila salat disebut sebagai “kunci” dari
serentetan amal ibadah yang terkandung dalam agama Islam. Salat memiliki keutamaan dan
keistimewaan besar khususnya bagi umat Islam. Ditinjau dari sudut agama, salat memberikan dampak yang tinggi
dalam mengangkat derajat manusia, baik di sisi Allah sebagi penciptanya, maupun
di hadapan sesama manusia. Salat pula mengangkat harkat dan martabat manusia
menjadi terpuji dan luhur, sehingga mampu mewujudkan kemaslahatan, keselamatan
dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia, baik di bumi ini hingga memasuki
kehidupan di akhirat nanti.
Salat juga
memiliki dampak positif dari sudut pandang psikologi bagi manusia, khususnya
umat Islam. Salat mengandung unsur-unsur
terapeutik yang berguna bagi kesehatan, baik secara fisik maupun psikis
(kejiwaan). Semakin banyak salat,
maka semakin banyak dampak positif yang akan diperoleh oleh orang yang
melaksanakannya.
Selain itu, apabila salat dilakukan secara berjamaah, maka
salat memiliki keistimewaan lagi. Salat berjamaah akan menciptakan suasana
demokratis yaitu pembagian tugas sebagai imam, muazin, pembaca iqamat dan
sebagainya. Ketika imam salat terpilih, maka makmum harus mengikuti segala
gerakan salat imam dengan tertib.[22]
Menurut Fuad Mohammad Fachruddin, salat berjamaah seumpama sebuah negara,
karena di dalam salat terdapat syarat-syarat yang diperlukan untuk mendirikan
sebuah negara. Ia mengatakan salat memberi bentuk negara Islam.[23]
Keistimewaan salat berjamah lainnya adalah menciptakan
rasa saling peduli, saling memiliki, kebersamaan, menghapus kesenjangan sosial,
terapi lingkungan dan problem solving.[24]
Penjelasan tentang pengertian tentang
kepemimpinan dan salat di atas, mengindikasikan
adanya hubungan antara keduanya. Kualitas salat yang dilaksanakan bisa menjadi ukuran terhadap baik-buruknya
seorang pemimpin. Dengan melaksanakan salat yang benar, pemimpin
sebagai seorang manusia diharapkan
selalu mendapat ketenangan dan petunjuk dari Tuhannya sehingga ia berada di
jalan yang benar dan akan kembali ke jalan yang benar di kala ia melakukan
kesalahan selama menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Salat juga mengajarkan
dan melatih berdemokrasi dan berorganisasi, jika dilakukan secara berjamaah.
Namun demikian, hal ini belum tentu sesuai dengan kandungan yang dimaksud oleh
hadis tentang seburuk-buruk pemimpin
selama menegakkan salat yang diteliti
ini. Akan tetapi, pembahasan ini penting untuk mendukung dan membantu
dalam penelitian hadis ini.
[1] Majduddi>n Muh{ammad
Ya‘qu>b Al-Fairuz Abadi> (selanjutnya disebut Al-Fairuz), Al-Qa>mu>s Al-Muh}i>t} (Beiru>t: Maktabah al-Buh{u>s wa
al-Dira>sah, 1995), hlm. 173.
[2] Hasbi
Ash-Shiddieqy, Al-Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 59.
[3] Hasbi
Ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, jilid II (Medan: T.B.
Islamiyyah, 1952), hlm. 244.
[5]
Nurcholish Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta:
Paramadina, 1994), hlm. 20.
[6] Ibid.,
hlm. 21.
[7] Ibid.
[8]
Nasruddin Razak, Dienul Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1993). hlm. 51
[9] Harun
Nasution, op.cit., hlm. 34.
[10] Casmini, “Keistimewaan Salat Ditinjau dari Aspek
Psikologi dan Agama”, Hisbah, Vol. 1/ No. 1, Januari-Desember 2002, hlm.
82.
[11] Tim Penterjemah al-Quran, al-Qur'an dan
Terjemahnya (Madinah: Mujamma‘ Kha>dim al-H{aramain al-Syari>fain
al-Ma>lik Fahd li al-T}aba>‘ah al-Mus}h}af al-Syari>f, 1412 H), hlm. 862.
[12] Harun Nasution,
op.cit., hlm. 35.
[13]
Casmini, op.cit, hlm. 84.
[14] Ibid.
[15] Q.S. al-Baqarah (2):
45-46.
[16]
Casmini, op.cit., hlm. 85-86.
[17] Sentot
Haryanto, op.cit., hlm. 60-105.
[18]
Casmini, op.cit., hlm. 86.
[19]
Nasaruddin Razak, op.cit. hlm. 65.
[20] Q.S. al-Kaus|ar (108)
: 1-2.
[21] Q.S. al-Ankabu>t (29):
45.
[22] Sentot
Haryanto, op.cit., hlm. 117-128.
[23] Fuad
Mohammad Fachruddin, Pemikiran Politik Islam (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu
Jaya, 1988), hlm. 2.
[24] Sentot
Haryanto, op.cit., hlm. 128-152.
Loading...
0 Response to "Konsep Shalat Dalam Islam"
Post a Comment