Kepemimpinan umat Islam
di kalangan umat Islam sendiri merupakan masalah urgen, karena menyangkut perkembangan dan masa depan umat
Islam. Meskipun bentuk kepemimpinan umat Islam kini tidak berada dalam satu
bendera kekhalifahan seperti yang diterapkan pada masa Nabi, Khulafa'
al-Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang memimpin umat Islam sedunia,
melainkan secara terpisah membentuk negara sendiri-sendiri, baik itu yang
berbentuk republik, monarki dan sebagainya, umat Islam di seluruh dunia tetap
peduli dengan masa depan umat Islam di mata dunia. Sense of belonging terhadap
Islam inilah yang mendorong para tokoh umat Islam di dunia untuk membentuk
organisasi yang menampung seluruh aspirasi umat Islam sedunia. Organisasi ini
bernama OKI (Organisasi Konferensi Islam).
Namun organisasi ini nampaknya tidak cukup mewakili aspirasi umat Islam sedunia dan kurang berperan dalam memajukan umat Islam. Hal ini ditandai dengan masih terbelakangnya negara-negara Islam[1] dan tertindas atau tertekan oleh bangsa lain –terutama oleh negara Adidaya Amerika Serikat- bahkan di Timur tengah, negara Islam yang diperangi oleh bangsa lain seperti Palestina yang diserang olehIsrael dibantu oleh Amerika
Serikat, masih tidak kunjung berakhir. Hal yang sama juga terjadi di Irak,
sebagai salah satu "musuh" Amerika Serikat melalui "tangan"
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masih menghadapi embargo yang pada urutannya
sangat mengganggu generasi Muslim di tempat itu. Belum lagi
"tarik-ulur" antara Libya
dan negeri Paman Sam tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.[2] Selain
itu, isu-isu terorisme yang sering bahkan selalu dikambinghitamkan kepada
kalangan umat Islam, yaitu negara-negara Islam, OKI seakan tidak menampakkan
diri.
Namun organisasi ini nampaknya tidak cukup mewakili aspirasi umat Islam sedunia dan kurang berperan dalam memajukan umat Islam. Hal ini ditandai dengan masih terbelakangnya negara-negara Islam[1] dan tertindas atau tertekan oleh bangsa lain –terutama oleh negara Adidaya Amerika Serikat- bahkan di Timur tengah, negara Islam yang diperangi oleh bangsa lain seperti Palestina yang diserang oleh
Hal di atas memang
menandakan kemunduran umat Islam dalam percaturan dunia. Sangat berbeda jauh
jika dibandingkan dengan kejayaan umat Islam di mata dunia, yaitu pada masa
kepemimpinan Nabi SAW. dan Khulafa'
al-Rasyidin yang modern dan demokratis,[3]
sebuah civil society yang sejalan dengan yang diistilahkan oleh
Nurcholish Madjid dengan "masyarakat madani".[4]
Mengapa hal ini terjadi ?
Dalam sejarah umat Islam
pada masa awal Islam, mereka sangat peduli dengan kehidupan duniawinya,
sepeduli mereka menghayati ajaran Islam dan mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Aktivitas kepemimpinan mereka dalam kehidupan duniawi, dijadikan
sebagai ibadah juga kepada Tuhan. Dengan demikian, mereka tidak hanya
mempertanggungjawabkan tugasnya kepada manusia, tetapi juga
dipertanggungjawabkan kepada Tuhannya, bahkan inilah yang benar-benar
diutamakan. Karena itulah, mereka bersungguh-sungguh dalam menjalankan
amanatnya dan hasilnya mereka tidak hanya berhasil membangun Islam di
"kandang"-nya sendiri, tetapi juga berhasil melebarkan sayap keluar
Jazirah Arab yang disambut dengan hangat oleh penduduknya karena telah menjadi
"dewa penolong" bagi mereka dari penindasan bangsa Romawi. Mereka pun
taat pada kepemimpinan Islam karena telah memberikan kedamaian dalam kehidupan
penduduk setempat yang akhirnya mendorong mereka masuk Islam.
Apabila kesenjangan di atas dicermati,
tampaklah perbedaan di antara dua masa, yaitu masa kejayaan Islam dan masa
kemunduran Islam. Jika pada masa kejayaan Islam, yaitu masa Nabi dan Khulafa'
al-Rasyidin, para pemimpin selain memimpin dalam hal kenegaraan, mereka juga
pemimpin dalam hal keagamaan.[5]
Bahkan penguasaan ajaran Islam (al-Qur'an dan Hadis) dan kemampuan dalam
mengamalkannya dijadikan tolak ukur ditunjuknya seseorang menjabat sebagai
pemimpin pemerintahan. Hal ini terbukti pada saat terpilihnya Abu Bakar sebagai
pengganti Nabi sebagai pemimpin umat, karena dia terpilih sebagai imam salat
yang menggantikan Nabi ketika beliau sakit yang dijadikan alasan bagi kalangan
sahabat menganggapnya yang terbaik di antara yang lain. Hal ini juga terjadi
pada saat pengutusan Mu‘a>z|
bin Jaba>l oleh Nabi SAW. untuk menjadi pemimpin di negeri Syam. Hal
ini menandakan bahwa Islam bukan semata-mata akidah keagamaan individu, tetapi
sudah mewajibkan pembentukan suatu masyarakat yang mandiri yang memiliki
pemerintahan, konstitusi dan sistem pemerintahan.[6]
Namun kondisi umat Islam
sekarang tidak demikian. Negara Islam sekarang –secara garis besar- terkesan
adanya pemisahan antara agama dan negara. Bahkan lebih dari itu, mereka
berkiblat kepada kehidupan bangsa Barat dan tunduk kepada mereka sebagai negara
Adidaya. Meskipun sebenarnya, banyak di antara negara Islam adalah
negara-negara kaya, tetapi kekayaannya itu dikeruk oleh bangsa Barat yang
disebut sebagai bagian dari neo-kolonialisme. Mereka mengaku Islam tetapi
pemikiran mereka berpaham sekular, misalnya negara Turki. Sepertinya tidak ada
peran agama dalam roda pemerintahan, hanya dijadikan ibarat "tempel
ban" ketika ada gejolak yang terjadi dalam negara. Salat sebagai ibadah
utama dalam Islam, sepertinya tidak membekas sedikitpun dalam perilaku sehari-hari.
Hal inilah yang membuat umat Islam mundur, karena jika umat Islam meresapi
ibadah salatnya lahir dan batin, tentunya umat Islam tidak akan membiarkan
penindasan dan ketidakadilan merajalela di muka bumi ini. Padahal al-Qur'an
telah menyatakan bahwa salat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar[7],
namun tentunya salat yang dikerjakan tidak hanya sekedar gerakan fisik saja,
namun salat yang benar-benar menenangkan, mendamaikan dan menjernihkan jiwa dan
pikirannya.
Seharusnya umat Islam
sadar, bercermin dan kembali kepada al-Quran dan Hadis dalam bernegara yang
telah dicontohkan oleh Nabi SAW. Jika menurut Bellah, unsur-unsur struktural
politik pada zaman itu sangatlah modern bahkan terlalu modern untuk zamannya,[8]
sehingga setelah Nabi wafat kepemimpinan umat Islam yang demokratis belum mampu
dilanjutkan, maka karena kini merupakan era millenium, tentunya umat Islam
lebih dapat mengkaji dan menerimanya sebagai obat penyembuh dari sakit yang
terlalu lama dan tidak ada penentangan atau pemberontakan lagi terhadap
pemerintah karena tidak adanya keadilan. Kesalahan yang dilakukan seorang
pemimpin bisa terjadi karena kekhilafan sebagai seorang manusia yang seharusnya
ditegur oleh rakyatnya, sedangkan cara menegur pemerintah tidak harus dengan
cara memberontak, tetapi masih ada jalan damai lain yang akibatnya lebih
efektif dan efisien.
Jika pemimpin
benar-benar membumikan keadilan, maka tentunya akan tercipta kehidupan
sejahtera dan tidak ada lagi kesenjangan sosial –yang biasanya memicu konflik-
sehingga tecipta rasa saling mendukung, kekompakan yang menjadikan umat Islam
kuat bersatu dan tidak gentar menghadapi tekanan dan ancaman dari pihak
luar.
[1] Negara
Islam dalam hal ini mengandung makna umum, yaitu negara yang memang menetapkan
Islam sebagai agama resmi/ negara ataupun negara yang penduduknya mayoritas
beragama Islam.
[2] Gema
Martin Munoz (ed.), Political Relations at the End the Millenium (London:
I.B. Tauris, 1999), hlm. 95.
[3]
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta:
Paramadina, 1999), hlm. 32-33.
[4] Ibid,
hlm. xviii.
[5] Menurut
Thomas W. Arnold. Dalam waktu bersamaan, Nabi adlah apemimpin agma dan kepala
negara, lihat John. J. Donohue dan L. Esposito (ed.), Islam ini Transition,
Muslim Perspective (New York: Oxford University Press, 1982), hlm. 261.
[6] M. Yusuf
Musa, Politik dan Negara dalam Islam (Surabaya: al-Ikhlas, 1990), hlm.
27.
[7] Q.S. al-Ankabu>t (29): 45.
[8] Ibid.,hlm.
32.
Loading...
0 Response to "Kepemimpinan dalam Politik Islam"
Post a Comment