Pengertian Dan Hukum Mahar
Mahar
secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian
wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami
untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.
Atau, suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya,
baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dll.).[1]
Abu
Bakr Jabir al-Jazaairi mengartikan mahar sebagai sesuatu yang diberikan kepada
wanita/calon istri untuk menghalalkan berhubungan dengannya. Ia juga
berpendapat wajib bagi calon suami memberikan mahar kepada calon istri.[2]
Imam
Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang
laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai anggota badannya.
Jika
istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu ia
memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan
tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu, atau takut, maka
tidak halal menerimanya. Allah swt. Berfirman:
20. Dan
jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain [280], sedang kamu
Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka
janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata ?
Dalam ayat selanjutnya Allah berfirman:
21. Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Karena
mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya
sebagai rukun nikah, maka hokum memberikannya adalah wajib.
Kadar Mahar
Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat
bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi. Kemudian mereka berselisih
pendapat tentang batas terendahnya.
Imam syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha
madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas
minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain
dapat menjadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari
kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu
ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar
itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham,
atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut.
Imam Abu hanifah berpendapat bahwa paling sedikit
mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham,
ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.
Pangkal silang pendapat ini, menurut Ibnu Rusyd,
terjadi karena dua hal, yaitu:
Pertama:Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara
kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah
kerelaan menerima ganti, baik
sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai
ibadah yang sudah ada ketentuannya. Demikian itu, karena ditinjau dari segi
bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya,
maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya
larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip
dengan ibadah.
kedua:Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya batasan
mahar dengan mafhum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang
menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan
ibadah itu sudah ada ketentuannya.[3]
Ketiga: Komplikasi Hukum Islam Yang Berbicara Mengenai Mahar
Pasal 35
1) Suami yang
mengatakan istrinya qobla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam
akad nikah.
2) Apabila suami meninggal dunia qobla
al-dukhul, seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.
3) Apabila perceraian terjadi qobla al-dukhul
tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsli.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu
dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya, atau dengan
barang lain yang sama nilainya, atau dengan uang yang senilai dengan harga
barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan
nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau
kurang, tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat,
penyerahan mahar dianggap kurang.
2) Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena
cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama
penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap belum dibayar.
Mahar merupakan bagian yang harus dipenuhi
dalam akad nikah. Dimana calon pengantin pria memberikannya kepada calon
pengantin perempuan. Dengan tujuan agar keduannya halal berhungan. Adapun
menganai batasan-batasan mahar itu sepangjang pengetahuan saya selama ini
mayoritas warga Indonesia masih memberlakukan adat yang ada pada daerah
masing-masing. Padahal adat Sulawesi dan Kalimantan dalam urusan ini amatlah
mahal dibandingkan dengan adat jawa. Yang hal ini menyebabkan banyak dari
saudara temen-temen Sulawesi yang mencari istri di Pulau Jawa. Yang kemudian
akan mengakibatkan banyaknya perawan-perawan tua dikemudian hari, lebih-lebih
sekarang ini jumlah antara laki-laki dan wanita lebih banyak wanita. Sehingga
kemudian menurut hemat saya meskipun yang menentukan mahar itu atas persetujuan
mempelai wanita, hedaklah si calon istri tidak memberatkan si calon suami.
[1] Kamus Istilah Fiqh, hlm. 184
[2] Minhajul Muslim,(Bairut: Dar al-Fikr) hlm.357
[3] Prof.Dr. H.M.A. Tihami, M.A.,M.M., Drs. Sohari.M.M.,M.H., Fiqih
Munakahat, Kajian Fiqh Nikah Lengkap (Jakarta:Rajawali Pers, 2009), hlm. 43
Loading...