Menurut
Hasan Langgulung dalam hal penciptaan Nabi Adam A.s., yang dimaksud disini
tentulah umat manusia seluruhnya, Tuhan berfirman dalam Al-Quran :
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah
kamu kepadanya dengan bersujud.” (Q.S. Al-Hijr: 29)
Makna surat ini adalah, Tuhan memberi manusia itu
beberapa potensi atau kemampuan sesuai dengan sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat
Tuhan ini disebut dalam Al-Quran dengan nama-nama yang indah (Al-Asmaul
Al-Husna) yang menggambarkan Tuhan sebagai “Yang Maha Pengasih”
(Al-Rahman), Yang Maha Penyayang (Al-Rahim),
“Yang Maha Suci” (Al-Quddus), “Yang Maha Hidup” (Al-Hayyu), dan
seterusnya sebanyak 99. Menyembah dalam pengertiannya yang umum bermakna
mengembangkan sifat-sifat ini pada manusia menurut perintah dan petunjuk Tuhan.
Misalnya Tuhan memerintah manusia menjalankan upacara sembahyang kepadanya.
Dengan berbuat demikian, manusia menjadi lebih suci, jadi ia meniru sifat Tuhan
dalam kesucian, yaitu Al-Quddus. Juga Tuhan adalah Maha Pengasih (Al-Rahman)
tetapi Ia memerintah manusia supaya bersifat pengasih terhadapnya. Tuhan Maha
Mengetahui (Al-Alim) tetapi Dia memerintah manusia selalu mencari dan
menambah pengetahuan dan berdoa agar Tuhan menolongnya :”Wahai Tuhanku,
tambahkan ilmuku”. Allah juga memiliki segala kekuasaan (Malikul Mulk),
tetapi diberi-Nya kekuasaan politik kepada manusia di bumi. [1]
Sifat-sifat
Tuhan tersebut hanya dapat diberi kepada manusia dalam bentuk dan cara yang
terbatas, sebab kalau tidak demikian manusia akan mengaku diri sebagai Tuhan.
Sifat-sifat yang diberikan kepada manusia itu harus dianggap sebagai Amanah,
yaitu tanggungjawab yang besar. Di sini jelas terlihat bagaimana potensi-potensi
manusia yang banyak digunakan dalam psikologi itu mempunyai kaitan dengan
tujuan kejadian alam jagat, sembahyang, dalam pengertiannya yang luas yaitu
amanah.[2]
b. Konsep Amanah
Arti menyembah diatas telah disinggung dengan
jelas, yaitu mengembangkan sifat Tuhan yang diberikan kepada manusia, dan itu
sekaligus merupakan tujuan kejadian
manusia. Seperti contoh mencari dan mendalami ilmu (salah satu sifat Tuhan yaitu Al-‘ilm) adalah ibadah. Mencari
kekayaan (juga salah satu sifat Tuhan yaitu Al-Ghaniy) adalah ibadah.
Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu
sekalian di atas bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber)
penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.”(Q.S. Al-A’raf: 10)
Dalam ayat
lain: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukan untuk (kepentingan)mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya lahir dan batin” (Q.S. Luqman : 20)
Juga dalam ayat lain yang senada : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di
bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya
tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.“(Q.S. Al-Baqarah : 29)
Seluruh ayat diatas bermakna bahwa Amanah itu sekurang-kurangnya
ada dua macam yaitu :
a. kesanggupan manusia mengembangkan sifat-sifat
Tuhan pada dirinya
b. berkenaan dengan cara pengurusan sumber-sumber
yang ada di bumi.
Kesanggupan manusia mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada dirinya adalah
bagaimana manusia dapat mengembangkan potensi dirinya yang meliputi fitrahnya,
kebebasan yang diberikan dalam berbuat, pemuasan terhadap jasmani dan ruhani
serta potensi akal. Itu semua dikembangkan untuk mengembangkan sifat-sifat
Tuhan yang ada pada dirinya dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah semata.
Adapun amanah terhadap cara pengurusan sumber-sumber alam maksudnya
adalah manusia diberi amanah untuk menjaga kelestarian alam ini yang meliputi
segala macam potensi alam untuk dijaga dalam rangka kesejahteraan umat manusia. Dengan ini konsep “menyembah’ atau ibadah
diperkaya lagi dengan makna baru, yaitu pengurusan yang sesuai terhadap amanah
yang diberikan Tuhan kepada manusia. Jadi ”menyembah”
yang ada pengertian asalnya berarti pengembangan potensi-potensi, yaitu
sifat-sifat Tuhan, pada diri manusia, menjadi bertambah luas dan mengandung
pengertian mengurus dengan baik amanah yang dipikul itu. Sebab amanah
ini telah diajukan kepada langit , bumi dan gunung, tetapi manusia bersifat
aniaya dan bodoh.
Sebagaimana firman Allah : “Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”(Q.S. Al Ahzab:72)
Ayat diatas menunjukan bahwa manusia telah
menyalahgunakan amanah itu oleh sebab sombong dan congkak, dan menyangka ia tahu
segala-galanya dan dengan menjalankan kekuasaan yang tidak adil kepada
orang-orang dan makhluk lainnya bahkan memperalat mereka.[3]
c.
Perjanjian Antara Tuhan dan
Manusia (mithaq)
Persoalan kenapa dan bagaimana manusia
menyalahgunakan amanah yang diberikan Tuhan kepadanya adalah berkaitan
dengan aspek-aspek tertentu pada sifat manusia, atau terlibat pada perjanjian
Tuhan dan manusia. Dalam sejarh penciptaan manusia, iblis menggoda Adam sebagai
manusia pertama. Al-Qur’an menyebutkan asal godaan terhadap Adam A.s.
sebagaimana yang diceritakan dalam Al-Qur’an : “ Kemudian syaitan membisikan pikiran jahat
kepadanya, dengan berkata :”Hai Adam ,maukah saya tunjukan kepada kamu pohon
khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa”(Q.S. Thaha”120)
Iblis menjanjikan kepada manusia dua janji yang
sangat menggiurkan, yaitu kekekalan manusia dan kekuasaan mutlak di bumi. Janji
ini menunjukan dua macam kecenderungan
dasar pada manusia. Keinginan dan keyakinan bahwa ia bertanggungjawab atas
segala tindakannya. Keserakahannya kepada kekuasaan menyebabkan ia lupa bahwa akhirnya semua kekuasaannya
terbatas dan relatif dan harus dijalankan sebagai suatu amanah. Yang sebenarnya
dilupakan oleh Adam A.s adalah bahwa hanya Tuhan yang Kekal dan Berkuasa atau sumber segala kekuasaan.[4]
Tuhan
berfirman dalam Al-Qur’an tentang kelemahan Adam A.s : “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu,dan
manusia dijadikan bersifat lemah”( Q.S. An Nisa : 28)
Dalam ayat lain disebutkan : “Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada
Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya
kemauan yang kuat”(Q.S. Thaha:
115)
Menurut Hasan Langgulung pada dasarnya kelemahan
Adam atau sebab kejatuhannya adalah sifat pelupa. Islam tidak mengenal konsep
dosa asal (original sin) seperti yang di fahami dalam tradisi
Yahudi-Kristen dan oleh sebab itu tidak ada konsep tebusan menurut agama Islam.
Adam
jatuh ke dalam godaan sebab ia lupa sesuatu yang telah diajarkan kepadanya atau
ia telah ketahui sebelum itu. Kedua-duanya, menurut pandangan Islam adalah
sama. Yang pertama berkenaan dengan melupakan sifat-sifat Tuhan yang telah
disebutkan sebelum ini. Menurut Al-Qur’an, Tuhan sebelum Adam A.s jatuh dalam
godaan, telah mengajarkan kepada Adam akan nama-nama ....(Q.2:32).
Nama-nama itu adalah sifat-sifat Tuhan, yang berjumlah 99, telah dilupakan oleh
Adam A.s sewaktu berada dalam godaan.
Yang kedua berkenaan dengan perjanjian (mithaq) antara Tuhan dan umat
manusia yang digambarkan dalam ayat Al-Qur’an berikut :
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman).”Bukanlah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab:”Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”(Q.S. Al-A’raf”172)
Dari segi pandangan falsafah lanjut
Langgulung, ayat ini menyatakan bahwa adalah wajar pada manusia atau
sekurang-kurangnya sebahagian dari pada wataknya (nature) adalah menerima Tuhan
sebagai Tuhan dan Penguasa. Malah ahli-ahli fikir Islam melangkah lebih jauh
lagi dan menyatakan bahwa ayat ini bermakna, sebab kelemahan manusia, Tuhan
sebagai penguasa yang telah diakui memberi manusia itu wahyu sebagai petunjuk.
Selanjutnya Dia berjanji membela orang-orang yang percaya kepada-Nya, firman
Allah dalam Al-Qur’an : ...Dan Kami telah berkewajiban menolong orang-orang yang beriman”(Q.S. Ar Rum:47)
Supaya
mendapat petunjuk yang sempurna dalam ibadah, mengurus Amanah, melaksanakan
tugas dan kewajiban,dan terutama mengingatkan manusia kepada perjanjiannya
dengan Tuhan, maka Tuhan sendiri mengutus wahyunya kepada manusia. Jadi wahyu
itu merupakan peringatan untuk mengimbangi kelemahan manusia, yaitu sikap
pelupa. [5]
[1]
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan
[2] Ibid, Hlm. 5
[3] Ibid, hlm. 6-7
[4] Ibid, hlm 7
[5] Ibid, hlm.8
Loading...
1 Response to "Sifat-sifat Dasar Manusia"
Dan Kami telah berkewajiban menolong orang-orang yang beriman
Post a Comment