Manusi Sebagai Makhluk Perubah

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (ar-Ra'du:11)

               Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa Allah tidak akan merampas nikmatnya dari manusia meskipun ia melakukan maksiat.[1] Ini dapat terjadi pada realitas empirik orang-orang yang tidak beriman kepada Allah sukses dalam keduniawian. Sementara al-Qurtubi menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali terdapat perubahan dalam diri mereka, atau orang lain yang mengamati mereka, atau sebagian dari kaum mereka. Ayat ini tidak bermakna bahwa orang yang tidak melakukan dosa tidak akan  mendapatkan musibah atau azab karena tidak pernah melakukan dosa. Sebagaimana Rasulullah bersabda: ketika ditanya apakah orang-orang yang saleh itu akan dimusnahkan? Jawabnya: benar, apabila banyak terjadi kerusakan dalam masyarakatnya[2] semua ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi untuk berubah menuju kebaikan atau keburukan. Dominasi manusia yang memiliki nilai negatif terhadap orang-orang saleh yang tidak mampu berbuat apa-apa akan berakibat semuanya terkena musibah atau bencana yang melanda kaum tersebut.

            Berikut ini akan penulis paparkan dan jelaskan dari Khutbah Idul Fitri Amin Rais, yang berjudul: Membangun Rasa Percaya Diri. Menurut Amin saat ini bangsa Indonesia mengalami keterpurukan di berbagai bidang kehidupan. Untuk keluar dari keterpurukan itu, umat Islam  sebagai bagian dari bangsa masih harus mengasah dan mempertajam ketakwaan kita kepada Allah. Pada gilirannya bila ketakwaan semakin mantap maka insya Allah semakin besar pula kepercayaan diri, self confidence, atau at-tsiqah 'ala an-nafs bangsa Indonesia.

       Sebagai bangsa yang besar sekarang bangsa Indonesia  berada dalam suasana tidak percaya diri, malahan kadang-kadang seperti mengalami kebingungan. Berikut ini merupakan bukti-bukti ketidak percayaan diri yang di jelaskannya:

Lihatlah bagaimana kita merasa sudah tidak mampu lagi memperbaiki ekonomi kita dengan akal, energi, daya dan kreativitas kita sendiri. Sebagai gantinya, kita serahkan sepenuhnya nasib ekonomi kita kepada sebuah badan dana moneter internasional. Padahal badan internasional tersebut ternyata tidak becus memperbaiki ekonomi Indonesia.

Manusi Sebagai Makhluk Perubah

Lihatlah bagaimana mula-mula didirikan sebuah badan utuk menyehatkan perbankan dan berbagai BUMN kita. Namun dalam perkembangannya badan itu kini menjadi juru lelang aset-aset nasional. Mengapa? Karena kita tidak yakin dapat memperbaiki berbagai BUMN itu dengan kemampuan dan akal sehat kita. Sikap yang diambil kemudian adalah jual saja berbagai BUMN itu, habis perkara. Memang perkaranya habis karena kita kemudian menjadi bangsa pelayan yang melayani kepentingan luar negeri.

Lihatlah bagaimana kita bahkan tidak berani mengangkat kepala kita melihat pencurian tanah dan pasir Indonesia yang sudah berlangsung hampir dua dasawarsa. Beberapa pulau di sekitar Kepulauan Riau sudah lenyap karena sudah berpindah dan ditempelkan ke suatu negara tetangga lewat proses reklamasi. Nampaknya kita tidak berani hanya sekedar menegur, bahkan menyindir negara tetangga tersebut agar menghentikan penjarahan tanah, pasir dan air kita. Masya Allah.

Lihatlah juga bagaimana kita memperlakukan kekayaan alam kita yang dianugerahkan Allah kepada kita bangsa Indonesia. Betapa banyak kontrak karya dibidang perminyakan, gas alam, emas, perak, tembaga dan berbagai kekayaan miniral kita, yang amat sangat menguntungkan pihak luar negeri dan cukup merugikan, bahkan menyengsarakan bangsa sendiri. Mengapa? Karena kita beralasan tidak punya modal, tidak punya kemampuan manajerial, tidak punya apa-apa untuk mengelola karunia dan anugerah kekayaan alam itu dengan tangan kita sendiri.[3]

Oleh sebab itu setiap individu, para pemimpin dan rakyat seluruhnya, harus berusaha memulihkan kembali rasa percaya diri yang kini sudah hilang. Perlunya upaya untuk  menemukan kembali dan memperkokoh rasa percaya diri bangsa Indonesia. Bangsa manapun, tidak mungkin mengandalkan pemulihan kehidupan ekonomi, sosial, politik, hukum, pendidikan dan lain-lain semata-mata pada kekuatan luar negeri. Mustahil ada satu bangsa yang mau bersusah payah dan berkorban untuk bangsa lain.

            Karena itulah perlu ditekankan kembali  firman Allah dalam surat ar-Ra'du ayat 11: "... Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang merubah nasibnya". Juga firman Allah dalam surat al-Anfal ayat 53: " ... Demikianlah Allah sekali-kali tidak akan merubah kenikmatan yang telah dikaruniakan pada suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang merubahnya..."

            Proses perubahan sebagaimana yang dijelaskan di atas tidak akan terwujud jika manusia itu sendiri tidak mau merubahnya. Memang tantangan yang sedang dihadapi sangatlah berat  ibarat berjalan di bukit yang mendaki dan sangat terjal. Pepatah asing mengatakan, when the going gets tough, the toughs gets going. Artinya bila perjalanan makin sulit yang sulit itu pun akan terus bergerak.

            Kutipan dari khutbah Amin Rais pada Idul Fitri di atas, penting kiranya dan perlu dicermati agar semua pihak dapat menyadari bahwa memiliki keyakinan diri untuk dapat merubah kondisi bangsa ini sendiri adalah suatu kewajiban bagi seluruh bangsa Indonesia. Perubahan dari tidak percaya diri menuju percaya diri harus dimulai dengan mengetahui bagaimana konsepsi diri manusia tersebut yang sesungguhnya.

Rif'at Syauqi Nawawi menjelaskan tentang gambaran al-Qur'an yang positif tentang manusia:[4]

Manusia adalah khalifah Tuhan di muka bumi.[5] Dibandingkan dengan makhluk yang lain, manusia mempunyai kapasitas intelegensia yang paling tinggi.[6] Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan.[7]Manusia, dalam fitrahnya, memiliki sekumpulan unsur surgawi nan luhur, yang berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda yang tak  bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan suatu senyawa antara alam nyata dan metafisis, antara rasa dan non rasa (materi), antara jiwa dan raga.[8] Penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti, bukan secara kebetulan. Karenanya, manusia merupakan makhluk pilihan.[9] Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan oleh Tuhan, diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui nabi, dan dikaruniai rasa tanggung jawab. Mereka diperintahkan untuk mencari nafkah di muka bumi dengan inisiatif dan jerih payah mereka sendiri, mereka pun bebas memilih kesejahteraan atau kesengsaraan bagi dirinya.[10] Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat. Tuhan, pada kenyataannya telah menganugerahi manusia dengan keunggulan atas makhluk-makhluk lain. Manusia akan menghargai dirinya sendiri hanya jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat itu, serta mau melepaskan diri mereka dari kepicikan segala kerendahan budi, penghambaan dan hawa nafsu.[11] Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka.[12] Jiwa manusia tidak akan pernah damai, kecuali dengan mengingat Allah. Keinginan mereka tidak terbatas, mereka tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka peroleh. Di lain pihak, mereka lebih berhasrat untuk ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan Yang Maha Abadi.[13] Segala bentuk karunia duniawi diciptakan untuk kepentingan manusia. Jadi, manusia berhak memanfaatkan itu semua dengan cara yang sah.[14] Manusia diciptakan Tuhan agar menyembah-Nya, tunduk patuh kepada-Nya, dan merupakan tanggung jawab yang utama bagi mereka. [15]Manusia tidak semata-mata tersentuh oleh motivasi-motivasi duniawi saja. Dengan kata lain, kebutuhan inderawi bukanlah satu-satunya stimulus baginya. Lebih dari itu, mereka selalu berupaya  untuk meraih cita-cita dan aspirasi-aspirasi yang lebih adiluhung dalam kehidupan mereka. Dalam banyak hal, manusia tidak mengejar satu tujuan pun kecuali mengharap keridhaan Allah swt.[16]

        Adanya berbagai penjelasan tentang segi-segi positif manusia yang terungkap  dalam al-Qur'an bukan berarti tidak terdapat ayat-ayat yang  berbicara tentang sisi negatif manusia, akan tetapi  ayat-ayat yang berbicara tentang sisi negatif manusia tersebut harus dipahami bahwa semua itu menunjukkan beberapa kelemahan manusia yang harus di hindarinya.[17] Ayat-ayat tersebut tidak akan dijelaskan dalam penelitian ini. Karena penelitian ini akan memfokuskan pada sisi positif manusia agar dapat berpikir positif tentang dirinya dan menjadi pribadi yang percaya diri.

[1] Tafsir Jalalain, Sakhr Software
[2] Tafsir al-Qurthubi, Sakhr Software.
[3] http://www.m-amienrais.com/News/category_news.asp?IDCategory=43&page=10
[4] Rif'at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut Al-Qur'an, dalam Metodologi Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hal.8-10
[5]Lihat.Q.S.al-Baqarah :30, QS. al-An'am: 165)
[6]Lihat.Q.S.al-Baqarah :31-33
[7]Lihat.QS.al-A'raf :172.ar-Ruum, :43.
[8]Lihat.QS.as-Sajdah :7-9.
 [9]Lihat. QS. Thaha :122.
[10]Lihat. QS.al-Ahzab: 72;QS.al-Insan,76:2-3.
[11]Lihat. QS.al-Isra':70
[12]Lihat. QS.asy-Syam: 7-8.
[13]Lihat. QS.ar-Ra'd: 28; QS.al-Insyiqaaq,84: 6.
[14]Lihat. QS.al-Baqarah,2:29; QS.al-Jaatsiyah,45: 13.
[15]Lihat. QS.adz-Dzariyat, 51-56.51-56.
[16]Lihat. QS.al-Fajr, 89: 27-28.
[17]Rif'at Syauqi Nawawi, "Konsep Manusia Menurut Al-Qur'an". Dalam Metodologi Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hal. 8.
Loading...

0 Response to "Manusi Sebagai Makhluk Perubah"

Post a Comment