- Pendahuluan
Penafsiran terhadap teks, bagaimana pun pesat perkembangannya, ternyata tetap menghendaki adanya penelusuran makna dasar (original meaning) sebagai langkah awal kegiatan hermeneuise, menafsirkan.
Dari 77437 kata yang terdapat di dalam al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan oleh al-Fudail bin Syāżān,[1] salah satu di antaranya adalah kata ajal (a-j-l) yang kesemuanya itu mengacu pada satu makna sinkronik. Benarkah?
Sedikit banyak, makalah singkat ini akan mencoba mengulas makna dari kata tersebut. Namun perlu diingat, makalah singkat ini tidak bermaksud memberikan kepastian, hanya tawaran. Itu saja.
- Makna Dasar
Jika kita merujuk kepada beberapa kamus bahasa Arab, dapat ditemukan bahwa kata a-j-l berasal dari kata ajila-ya’jalu yang memiliki makna dasar “waktu yang diperuntukkan bagi suatu hal,”[2] dan konon kata tersebut, paling tidak, memiliki lima bentuk kata yang mungkin saja salah satunya merupakan makna dasar, di antaranya adalah;[3] al-ajal, batas waktu yang diperuntukkan pada suatu masalah, baik utang-piutang maupun yang lainnya; al-ājil, lawan kata al-‘ājil (yang tergesa-gesa, bersegera), dan al-ajīl, yang mengakhirkan waktu (mengulur); ajal,[4] pelaksanaan batas waktu, penunaian; al-ijl, sekelompok sapi liar.
- Min al-Syawāhid
- Makna Awal
Jika melihat bagaimana al-Qur’an memposisikan kata ajal ada beberapa bentuk makna yang disandarkan kepada kata tersebut. Di antaranya adalah “batas waktu,” sebagaimana terdapat dalam Q.S. al-Mu’min [40]: 67,
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى مِنْ قَبْلُ وَلِتَبْلُغُوا أَجَلًا مُسَمًّى وَلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Hal serupa juga diterapkan pada Q.S. al-Qasas [28]: 28,
قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا الْأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ
- Makna Isti‘ārah
Di lain kesempatan, al-Qur’an juga memberikan pengertian lain. Seperti pada Q.S. al-An‘ām [6]: 128,
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الْإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الْإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
Pada ayat di atas, kata ajal dimaknai dengan “batas kehidupan” (baca: kematian), sebagian yang lain memaknainya dengan “saat ketika manusia ditimpa kepikunan,” dan pada dasarnya kedua makna di atas memiliki kesamaan, [5] yaitu kematian baik nyawa maupun akal.
Pada ayat lain, ternyata ditemukan makna lain dari ajal, seperti dalam Q.S. al-Mā’idah [5]: 32,
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
Kata ajl di atas diartikan dengan “tindakan kriminal” (al-jināyah), bahkan dinyatakan bahwa qira’ah lain yang membaca ajl dengan ijl secara tegas menunjukkan makna “tindakan kriminal” karena ijl sendiri dapat diartikan dengan al-jināyah.[6]
Hal ini juga sebagaimana tertuang dalam syair Khawwāt bin Jubair:[7]
قد احتَرَبُوا في عَاجلٍ أنا آجلُه
|
¯
|
وأهلِ خِباءٍ صَالحٍ ذاتُ بَيْنِهم
|
Ājiluh di atas bermakna Jānīh.
Kemudian kata ajal juga dapat bermakna sebuah proses pelaksanaan “menuju” batas waktu atau penunaian, yang dalam hal ini merujuk kepada makna awal kata ajal (dengan sukūn pada akhir kata). Ayat yang membicarakan hal ini adalah Q.S. al-Baqarah [2]: 231,
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ...
Ajal pada ayat tersebut dimaknai dengan “waktu antara perceraian sampai habisnya masa ‘iddah.” Yang kemudian dilanjutkan dengan ayat berikutnya Q.S. al-Baqarah [2]: 232, yang mengindikasikan habisnya masa ‘iddah.
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ...
- Beberapa Kemungkinan Pemaknaan Lain
Berangkat dari makna awal, kata ini pun kemudian menimbulkan beberapa varian kemungkinan dalam pemaknaan, seperti yang terdapat di dalam Q.S. al-An‘ām [6]: 2,
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ طِينٍ ثُمَّ قَضَى أَجَلًا وَأَجَلٌ مُسَمًّى عِنْدَهُ ثُمَّ أَنْتُمْ تَمْتَرُون
Dua kata ajal di atas diyakini memiliki makna yang berbeda satu sama lain. Ada yang menyatakan bahwa ajal pertama adalah “kehidupan selama di dunia” dan ajal kedua adalah “kehidupan di akhirat.” Yang lain menyatakan bahwa ajal pertama adalah “kehidupan selama di dunia” dan ajal kedua adalah “masa antara kematian dan Hari Kebangkitan.” Pendapat lain menyatakan bahwa ajal pertama bermakna “tidur” sedangkan ajal kedua bermakna “mati” dengan merujuk kepada Q.S. al-Zumar [39]: o42,
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan yang lainnya mengatakan bahwa kedua ajal pada ayat di atas sama-sama bermakna “mati,” karena pada dasarnya manusia; pertama, akan mati sebagai mortir karena tebasan pedang, dibakar, ditenggelamkan, dan juga akibat cara-cata lain yang menyebabkan hilangnya nyawa. Atau kedua, hidup dalam perlindungan atau paling tidak berada dalam tawanan, sampai maut menjemput. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam sebuah maqālah,
من أخطأه سهم الرزية لم يخطئه سهم المنية
“Seseorang bisa saja luput dari panah perlindungan, tapi ia tidak akan pernah luput dari panah kematian”
Pendapat lain menyatakan bahwa manusia memiliki dua ajal, ada yang meninggal dalam kondisi muda dan sehat bugar, adapula yang bertahan hidup hingga mencapai batas waktu yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Sebagaimana dalam Q.S. al-Hajj [22]: 5,
...وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا...
Hal ini juga terekam di dalam syair Zuhair bin Abī Salmā:
ومــــــــــن تخطـــــــــئ يعـــمـــر فــــيـــهــرم
|
¯
|
رأيت المنايا خبط عشـواء مـــن تصـــب
|
Dan juga Umaiyah bin al-Salat:
للـــــمــــوت كأس فالــمـــــــــرء ذائقـــــــها
|
¯
|
من لم يمت عبطــــــة يمـــــــــت هــــــــــــرما
|
- Kesimpulan
Bagaimana pun perbedaan suatu kata dan peranakannya, ternyata masing-masing tetap memiliki keterikatan makna. Kata ajal dalam pembahasan kali ini, hemat penulis, telah membuktikan kalau hal tersebut benar adanya. Makna dasarnya “batas waktu” ternyata telah memunculkan berbagai makna, pun demikian semua memiliki relasi yang tak terputuskan.
Pada akhirnya, kritik dan saran dari para pembaca sangat penulis nantikan untuk perbaikan selanjutnya. Terima kasih.
[1] Badr al-Dīn Muhammad bin ‘Abd Allāh al-Zarkasyī, “al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān” dalam al-Maktabah al-Syāmilah (Solo: Ridwana Press, 2008), jilid I, hlm. 249.
[2] al-Rāgib al-Asfahānī, al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān (Kairo: al-Maktabah al-Taufīqiyyah, 2003), hlm. 20.
[3] Lihat, Abū al-Husain Ahmad bin Fāris, “Mu‘jam Maqāyīs al-Lugah” dalam al-Maktabah al-Syāmilah, jilid I, hlm. 64.
[4] Dengan sukūn pada akhir kata.
[5] al-Rāgib al-Asfahānī, al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān, hlm. 20-21.
[6] Lihat, Abū al-Husain Ahmad bin Fāris, “Mu‘jam Maqāyīs al-Lugah” dalam al-Maktabah al-Syāmilah, jilid I, hlm. 64. al-Rāgib al-Asfahānī, al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān, hlm. 20-21.
[7] Lihat, Muhammad bin Abī Bakr al-Rāzī, “Mukhtār al-Sihhāh” dalam al-Maktabah al-Syāmilah, jilid I, hlm. 7. Muhammad bin Manzūr al-Misrī, “Lisān al-‘Arab” dalam al-Maktabah al-Syāmilah, jilid XI, hlm. 11.
Oleh: Mus’idul Millah (07530058)
Oleh: Mus’idul Millah (07530058)
Loading...
0 Response to "Makna kata Ajal dalam Ilmu Gharib al-Qur'an"
Post a Comment