Indonesia adalah negara yang sangat plural. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah dapatkah sistem pendidikan Islam diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional? Jawabannya tentu saja “dapat”. Sistem pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang sangat fleksibel dan inklusif. Islam adalah satu-satunya agama yang mengatur hampir semua aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan. Prinsip pendidikan Islam sangat mudah untuk diimplementasikan.
Untuk dapat mengimplementasikan pendidikan Islam harus melibatkan komponen tripusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, sehingga sekolah bukanlah satu-satunya pelaku pendidikan. Proses pendidikan harus dimulai dari lingkungan keluarga. Keluarga memiliki tugas utama untuk mengajarkan kepada individu mengenai nilai-nilai tertentu, seperti kejujuran, keindahan, prinsip kesetaraan dan sebagainya.
Nilai-nilai agama juga harus ditanamkan sejak individu tinggal dalam lingkungan keluarga. Di sekolah, individu mulai dikenalkan dengan berbagai ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya adalah ilmu agama. Masyarakat akan mendidik individu untuk menjadi manusia “seutuhnya” yang harus berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas. Di masyarakat individu akan menjadi individu yang menjalani kehidupan yang sebenarnya.
Pada dasarnya prinsip pendidikan Islam mengembangkan nilai-nilai bersifat universal. Pendidikan Islam mengajarkan prinsip kesetaraan, kebersamaan, toleransi, perdamaian dan sebagainya, yang semua nilai tersebut juga dijumpai dalam kepercayaan lain. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam sistem pendidikan Islam, individu harus diposisikan sebagai “manusia” yang memiliki keunikan. Tingkat kecerdasan antara individu satu dengan yang lain tidak dapat saling diperbandingkan. Setiap individu memiliki potensi masing-masing, dan kita tidak boleh untuk memaksakan potensi mereka. Pemerintah
sebagai institusi kunci dalam proses perumusan kebijakan harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap individu. Kesempatan ini harus diupayakan baik secara kuantitas maupun kualitas. Pemerintah juga tidak boleh mengkultuskan posisi lembaga pendidikan formal, yang kemudian berdampak pada posisi pendidikan nonformal yang dinomorduakan. Pengkultusan pendidikan formal ini dalam praktiknya justru banyak mengakibatkan dampak negatif. Terlebih lagi, di era global ini, masyarakat dituntut untuk bekerja secara instan. Budaya instan ini ternyata menggerogoti praktik pendidikan nasional.
Di lain pihak, beribu masalah yang melanda dunia pendidikan nasional, tidak lepas dari berbagai kekuatan yang melanda negara kita. Pertama, tekanan untuk menerima gelombang globalisasi. Kedua, tekanan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang belum mapan. Masyarakat tidak siap menerima berbagai perubahan kebijakan pendidikan. Ketiga, budaya KKN yang sulit dihapus.
Ketiga faktor ini turut memperparah masalah pendidikan nasional. Tekanan modernisasi dan globalisasi memaksa pemerintah untuk menyiapkan SDM yang berdaya saing di tingkat internasional. Segala kebijakan pun diarahkan untuk tujuan ini, maka dibentuklah tipe sekolah semacam SBI (Sekolah Berstandar Internasional), kelas bilingual atau kelas internasional. Pendirian beberapa tipe sekolah ini ternyata memunculkan ketimpangan sosial, menciptakan ketidakmerataan akses pendidikan.
Banyaknya masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan adalah pekerjaan rumah yang sangat sulit untuk diatasi. Pendidikan dan kondisi ekonomi adalah dua faktor yang memiliki kedudukan yang sejajar. Dua faktor tersebut saling mempengaruhi. Untuk itu, kedua komponen tersebut harus diperhatikan secara bersamaan tanpa mempertimbangkan mana yang harus didahulukan, mana yang dinomorduakan. Pendidikan adalah kunci perubahan sekaligus kunci peradaban. Tanpa pendidikan, kemajuan peradaban suatu bangsa sulit untuk diraih.
Mentalitas korup juga turut memperparah implementasi kebijakan di bidang pendidikan. Berbagai kebijakan sering kali mentah, tidak menghasilkan manfaat apapun, bahkan justru merugikan berbagai pihak terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Kebijakan sekolah gratis misalnya, tidak diimplementasikan dengan benar oleh beberapa lembaga pendidikan. Meskipun pemerintah menggratiskan sekolah negeri, namun kenyataan di lapangan sering kali jauh dari harapan. Sekolah negeri yang seharusnya gratis, ternyata masih memberlakukan berbagai pungutan liar dengan berbagai alasan. Masalah ini kadang kala masih diperparah dengan mekanisme penerimaan peserta didik baru yang tidak sesuai dengan aturan, misalnya dalam masalah transparansi. Banyak sekolah yang tidak transparan dalam mengumumkan hasil seleksi penerimaan peserta didik baru, misalnya melalui amplop atau surat. Mekanisme ini sangat membuka peluang terjadinya kecurangan atau bahkan KKN–Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Masyarakat turut berperan dalam menciptakan kondisi kecurangan ini. Masyarakat lebih mengejar status daripada substansi pendidikan itu sendiri. Para orang tua akan lebih bangga bila anaknya mampu bersekolah di sekolah favorit, sehingga mereka rela bila harus mengusahakan anaknya untuk masuk meskipun melalui “jalur belakang”. Parahnya, trik ini juga dimanfaatkan oleh oknum kepala sekolah. Masyarakat terlena dengan berbagai simbol status, ijasah maupun gelar-gelar akademik lainnya.
Praktik-praktik semacam ini juga merugikan guru sebagai pelaksana teknis dalam proses pembelajaran di sekolah. Guru (dan bahkan dosen) dipaksa untuk mengajar peserta didik yang kemampuanya di bawah rata-rata. Sementara ketika sang siswa tidak mampu memperoleh hasil yang maksimal, aktor yang pertama kali mendapat cemoohan adalah sang guru, misalnya dalam kasus Ujian Nasional.
Tekanan globalisasi juga memaksa bangsa ini untuk memasuki era pasar bebas. Era pasar bebas memungkinkan bentuk-bentuk privatisasi. Privatisasi ini mengindikasikan lepasnya campur tangan negara dalam mengatur berbagai fasilitas publik, seperti pendidikan, kesehatan, sektor komunikasi, media massa, ekonomi dan sebagainya. Peran negara dalam hal ini hanya sebatas memberikan regulasi atau kebijakan, sedangkan implementasi diserahkan pada mekanisme pasar.
Daftar Pustaka
Ahmed, Manzoor. 1990. Islamic Education. Qazi Publishers, New Delhi.
Aliya, 2010. Menggagas Kembali Konsep Sistem Pendidikan Islam, diakses melalui situs:
http://hati.unit.itb.ac.id/?p=43, 12 November 2010.
Arief, Armai. 2005. Reformulasi Pendidikan Islam. CRSD Press, Jakarta.
Arifin, Muzayin. 1981. Kapita Selekta Pendidikan (Umum dan Agama), Toha Putra, Semarang.
Danim, Sudarwan. 2003, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Dewey, John. 1979. Democracy and Education. Mac. Milan, London.
Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar (diterjemahkan oleh Fuad dari The Politics of
Education: Culture, Power and Liberation).
Loading...
2 Responses to "Implementasi Sistem Pendidikan Islam"
saya rasa dunia pendidikan zaman sekarng semakin menuru walaupun semakin banyak perubahan.
terima kasih atas informasinya , dunia pendidikan zaman sekarng semakin menuru walaupun semakin banyak perubahan.
Post a Comment