Pendidikan Islam versus Pendidikan Sekuler-Kapitalistik

Sistem pendidikan Islam berbeda dengan sistem pendidikan sekuler-kapitalistik silahkan baca Hakikat Penidikan Islam. Pemikiran-pemikiran ideologisekuler-kapitalistik didasarkan pada ide dasar pemisahan agama dari kehidupan, sehingga kehidupan pun kemudian diatur berdasarkan pada pemikiran manusia. 

 Dalam hal pengaturan kehidupan yang menjadi asasnya adalah asas manfaat sedangkan tujuannya adalah mencapai kebahagian/kesejahteraan material semaksimal mungkin. Untuk mencapai tujuannya, terdapat beberapa konsep-konsep yang hendak diwujudkan dan dijaga, demi tetap terjaganya sekulerisme. Konsep-konsep ini berintikan pada konsep kebebasan, yaitu: konsep kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat atau berekspresi, kebebasan beragama/berkeyakinan, dan kebebasan bertingkah laku.

Pemikiran ideologi sekuler- kapitalistik dalam sistem pendidikan berlandaskan pada konsep-konsep serta asas-asas tersebut. Dunia pendidikan difungsikan sebagai penopang bagi mesin industri kapitalisme, sehingga tujuan pendidikan dalam ideologi ini adalah untuk mencetak individu-individu yang profesional yang dapat mendukung keberlangsungan industri-industri mereka, intinya adalah mencetak para pekerja yang baik.

Oleh karena itu, kadang kala negara diharuskan ikut mendukung bahkan mungkin juga total mendanai masalah pendidikan. Hal ini karena pendidikan dipandang sebagai investasi, dan dengan menggunakan negara maka biaya investasi untuk mencetak pekerja- pekerja yang tangguh bagi mesin industri kapitalis, akhirnya ditanggung oleh masyarakat melalui pajak. Bentuk pendanaan oleh negara dalam dunia pendidikan ternyata bervariasi antara satu negara barat dengan negara yang lainnya. Jadi, bukanlah tabu bagi negara yang berideologi kapitalis, untuk ikut mendanai biaya pendidikan (Sadad, 2010).



Sistem pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi antara “pendidikan agama” dengan “pendidikan umum”. Pada dasarnya, setiap bidang pelajaran harus mengaitkan kedua unsur tersebut dalam satu kesatuan. Pada mata pelajaran biologi misalnya, peserta didik harus mengalami proses penyadaran akan kebesaran Alloh yang dibuktikan dengan berbagai ciptaan-Nya di dunia ini. Alloh mampu menciptakan manusia yang terdiri atas milyaran sel yang tidak kasat mata. Sel ini tidak akan mampu ditiru manusia.

Pada mata pelajaran fisika, peserta didik dapat melihat wujud kekuasaan Alloh melalui berbagai penampakan benda di luar angkasa (kumpulan bintang atau galaksi) yang jaraknya jutaan tahun cahaya dari bumi. Pada mata pelajaran ekonomi, peserta didik dapat mempelajari berbagai aturan dalam praktik jual beli yang sesuai dengan ajaran Islam, mengingat sampai saat ini, sistem ekonomi syariah belum banyak dikenal siswa sejak dini. Mereka lebih banyak mempelajari sistem ekonomi kapitalistik yang justru banyak menyebabkan berbagai keterpurukan di negara ini.

Sistem pendidikan sekuler-kapitalistik yang dipraktikkan di Indonesia dinilai tidak memosisikan individu sebagai individu yang bebas. Setiap individu dibelenggu kebebasannya, sehingga mereka sulit untuk mengembangkan potensinya. Wujud pemaksaan yang dapat dilihat adalah dalam praktik ujian nasional (UN). Peserta didik melalui UN ini dipaksa untuk mampu menguasai bidang ilmu yang bukan menjadi bidang keahliannya. UN juga telah mengesampingkan posisi pendidikan agama karena mata pelajaran ini ternyata tidak dimasukkan dalam UN.

Praktik pendidikan dalam sistem sekuler-kapitalistik lebih melihat peserta didik sebagai sebuah investasi. Untuk itu, individu dipaksa untuk bersaing secara bebas. Prestasi adalah segala-galanya, dengan demikian keunikan individu sangat tidak dihargai. Setiap individu dipandang memiliki karakter yang sama serta memiliki kemampuan yang sama, sehingga antara individu satu dengan individu yang lain bisa dibandingkan. Hal inilah yang kemudian bagi sebagian besar masyarakat, prestasi adalah simbol status. 

Banyak orang tua yang merasa malu manakala buah hatinya tidak secerdas teman-temannya, sehingga buah hati mereka tidak masuk dalam peringkat sepuluh besar misalnya. Demikian juga dalam kasus UN, banyak orang tua yang tertekan manakala buah hati mereka ternyata gagal dan dinyatakan tidak lulus dalam UN. Merekapun kemudian menyalahkan pihak sekolah, gurupun menjadi terdakwa.

Pendidikan dalam sistem kapitalistik adalah simbol status. Oleh karena itulah, sebagian besar individu akan berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh status tersebut. Dua kesalahan yang sering dilakukan adalah, mereka berusaha untuk dapat mengenyam pendidikan formal, sehingga posisi pendidikan nonformal dinomorduakan. Kedua, banyak di antara individu yang kemudian menghalalkan berbagai cara untuk mencapai status tersebut. Individu yang merasa kurang berprestasi harus menanggung malu dan mengalami stres.

Logika kapitalis pun turut mewarnai praktik pendidikan. Akibatnya pendidikan kemudian menjadi sebuah komoditas yang dikomersialkan. Praktik jual beli hampir selalu menghiasi praktik pendidikan di setiap lembaga pendidikan. Selain itu, dalam praktik pendidikan peserta didik sering diposisikan sebagai modal (baca: calon tenaga kerja). Untuk itu, segala perilaku peserta didik dibentuk agar dapat menjadi tenaga kerja yang baik, penurut, selalu taat dan patuh pada guru yang dianalogikan sebagai “majikan”. Guru lalu memosisikan dirinya sebagai “majikan”, interaksi guru-murid berubah menjadi hubungan “buruh-majikan”. 

Bagi Freire (2002), relasi guru-murid ini disebut sebagai praktik pendidikan gaya bank. Anak (murid) diposisikan sebagai objek, dan diibaratkan menjadi sebuah “bejana kosong” yang harus terus diisi dengan ilmu pengetahuan. Anak menjadi “bank” yang menjadi sumber investasi masa depan dengan ilmu pengetahuan yang ditanamkan. Guru adalah subjek yang aktif, yang selalu memberikan ilmu pengetahuan kepada siswa yang harus diingat dan dihapal selamanya. Ciri-ciri pendidikan gaya bank:

1. Guru mengajar, murid belajar.
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa.
3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
4. Guru bicara, murid mendengarkan.
5. Guru mengatur, murid diatur.
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti.
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya.
8. Guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan diri.
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalisme dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid.
10. Guru adalah subjek dalam proses belajar, murid adalah objeknya.
11. Guru adalah subjek yang aktif yang selalu memberikan ilmu pengetahuan kepada siswa yang harus diingat dan dihapal selamanya (Freire, 2002; Topatimasang, dkk., 2005).

Ciri-ciri tersebut sangat tidak memamusiakan manusia, tidak memosisikan peserta didik sebagai individu yang aktif. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip pendidikan Islam yang sangat menjunjung tinggi derajat individu.

Daftar Pustaka

Ahmed, Manzoor. 1990. Islamic Education. Qazi Publishers, New Delhi.

Aliya, 2010. Menggagas Kembali Konsep Sistem Pendidikan Islam, diakses melalui situs:

http://hati.unit.itb.ac.id/?p=43, 

Arief, Armai. 2005. Reformulasi Pendidikan Islam. CRSD Press, Jakarta.

Arifin, Muzayin. 1981. Kapita Selekta Pendidikan (Umum dan Agama), Toha Putra, Semarang.

Danim, Sudarwan. 2003, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Dewey, John. 1979. Democracy and Education. Mac. Milan, London.

Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar (diterjemahkan oleh Fuad dari The Politics of

Education: Culture, Power and Liberation).

Loading...

0 Response to "Pendidikan Islam versus Pendidikan Sekuler-Kapitalistik"

Post a Comment