Makalah Kuliah: Epistemologi Positivisme dalam Kajian Filsafat

Makalah Filsafat: Epistemologi Positivisme
Ahmad Ridha

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada zaman modern, khususnya abad ke-17, adalah persoalan epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang epistemologi adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apakah sarana yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bercorak epistemologis ini, maka dalam filsafat abad ke-17 munculah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban yang berbeda, bahkan saling bertentangan.

Usaha manusia untuk mencari pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti telah berlangsung terus menerus dengan penuh semangat, seperti rasionalisme, empirisme ataupun yang lainnya. Walaupun begitu, paling tidak sejak zaman Aristoteles, terdapat tradisi epistemologi yang kuat untuk mendasarkan diri pada pengalaman manusia dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak tersebut.

Menurut Poespoprodjo dalam Logika Scientifika, kewajiban mencari kebenaran adalah tuntutan intrinsik manusia untuk merealisasikan manusia menurut tuntutan keluhuran keinsaniannya. Manusia dikaruniai akal budi yang membedakannya dari makhluk hidup yang lain. Dengan akal budi ini manusia berpikir. Pada dasarnya berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri merupakan obor bagi peradaban manusia di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna.[1]

Setelah erah kaum rasionalisme yang pelopori oleh Rene Descartes, muncullah sebuah aliran empirisme. Empirisme itu sendiri pada abad ke-19 dan 20 mereka lebih mengikuti jejak Francis Bacon yang memberi tekanan kepada empirik atau pengalaman sebagai sumber pengenalan. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa rasionalisme sama sekali ditolak. Dapat dikatakan, bahwa rasionalisme digunakan dalam rangka empirisme, atau rasionalisme dilihat dalam rangka empirisme.[2] 

Epistemologi Postivisme dalam Ilmu FIlsafat

Dalam sejarah perkembangannya empirisme menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme. Dalam makalah ini akan dibahas tentang seluk beluk positivisme dan penilaian atas implikasinya. Positivisme berkaitan langsung dengan perkembangan pola fikir manusia dan ilmu pengetahuan yang lebih kita kenal dengan istilah epistemologi positivisme.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dalam makalah ini dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian Epistemologi Positivistime.?
2. Apa kelebihan dari Epistemologi Positivistime.?
3. Apa Kelemahan dari Epistemologi Positivistime.?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Epistemologi Positivisme

Istilah positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar tahun 1825 M.), jikalau kita melihat lebih lanjut, maka dapat kita katakan bahwa positivisme merupakan kelanjutan dari empirisme. Prinsip filosofik tentang positivisme pertama kali dikembangkan oleh seorang empiris Inggris yang bernama Francis Bacon (sekitar tahun 1600 M.). 

Pada abad ke-19 timbullah filsafat yang disebut Positivisme, yang diturunkan dari kata “positif”. Filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Segalah uraian dan persoalan yang di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui secara positif adalah segalah yang tampak, segala gejala. Demikian Positivisme membatasi filsafat dan ilmu pengetahuan kepada bidang gejala-gejala. Apa yang dapat kita lakukan ialah: segala fakta, yang menyajikan dari kepada kita sebagai penampakan atau gejala, kita terima seperti apa adanya. 

Sesudah itu kita berusaha untuk mengatur fakta-fakta tadi menurut hukum tertentu: akhirnya dengan berpangkal kepada hukum-hukum yang telah ditemukan tadi kita mencoba melihat ke masa depan, keapa yang akan tampak sebagai gejala dan menyesuaikan diri dengannya. Arti segala ilmu pengetahuan ialah: mengetahui untuk dapat melihat ke masa depan. Jadi kita hanya dapat menyatakan atau mengkonstatir fakta-faktanya, dan menyelidiki hubungan-hubungannya yang satu dengan yang lain. Maka tiada gunanya untuk menanyakan kepada hakekat atau sebab-sebab yang sebenarnya dari gejala-gejala itu. Yang harus diusahakan orang ialah menentukan syarat-syarat di mana menurut persamaannya dan urutannya. Hubungan yang tetap yang tampak dalam persamaan itu disebut “pengertian”, sedangkan hubungan-hubungan tetap yang tampak pada urutannya disebut “hukum-hukum”.[3]

Pengertian dari sudut sumbernya ada dua macam.[4]

1. Pengertian a priori

Pengertian yang sudah ada pada budi sebelum pengalaman. Jenis pengertian ini merupakan bawaan sejak lahir. Al Ghazali menamakan sebagai ilmu auwali atau ilmu dharuri.

2. Pengertian a posteriori

Pengertian yang baru ada pada budi setelah pengalaman. Jenis pengertian ini merupakan hasil pengamatan terhadap sesuatu. Al Ghazali menamakannya sebagai ilmu nadhari atau ilmu muktasab.

Untuk membedakan keduanya, dapat dilihat contoh berikut ini, rasa hormat ada pada setiap manusia adalah sebagai pengertian a priori, tetapi cara menghormat yang perlu dipelajari adalah sebagai pegerian a posteriori. Sebagaimana yang diketahui, cara hormat itu beragam. Inilah yang membedakan antara positivisme dan empirisme, positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman objektif, sedangkan empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang subyektif. Kesamaannya keduannya mengutamakan pengalaman.

Filsafat positivisme diantarkan oleh August Comte (1798-1857). Ia belajar di sekolah politeknik di Paris, tetapi ia dikeluarkan kerena ia seorang pendukung republik, sedangkan sekolahnya justru sangat royalistis. Comte menjadi juru tulis pada de Saint Simon. Kebanyakan idenya memang berasal dari de Saint-Simon.[5]

Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.[6]

Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat Positivisme. Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.[7]

Manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Tidak ada gunanya untuk mencari hakekat kenyataan. Hanya satu hal yang penting, mengetahui, supaya siap untuk bertindak, mengetahui supaya manusia dapat menantikan apa akan terjadi. Lawan filsafat positif itu bukanlah suatu filsafat negatif, melainkan filsafat spekulatif atau metafisika.

Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap positif. 
Tahap Teologis 

Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.

Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, di mana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme). Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, di mana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.[8] 

Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.[9] 
Tahap Metafisik 

Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.[10] 
Tahap Positif 

Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.[11] 

Bagi Comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu pengetahuan. 

Meskipun seluruh ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga macam tahapan tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal demikian dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang ilmu pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu, maka semakin lambat mencapai tahap ketiga.

Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongkrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif.[12] Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.

Demikianlah pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah. Dalam hal ini Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah. 

Positivisme melembagakan pandangan dunia objetivistiknya dalam suatu doktrin kesatuan ilmu (unified science). Doktrin kesatuan ilmu mengatakan bahwa seluruh ilmu, baik ilmu alam maupun manusia, harus berada di bawah payung paradigma positivistik. Doktrin kesatuan ilmu mengajukan kriteria-kriteria bagi ilmu pengetahuan sebagai berikut: 

Bebas nilai, pengamat harus bebas dari kepentingan, nilai, emosi dalam mengamati objeknya agar diperoleh pengetahuan yang objektif 

Ilmu pengetahuan harus menggunakan metode verifikasi-empiris 

Bahasa yang digunakan harus; analitik (bisa dibenarkan atau disahkan secara logis), bisa diperiksa secara empiris dan atau nonsens 

Bersifat eksplanasi, ilmu pengetahuan hanya diperbolehkan melakukan penjelasan akan keteraturan yang ada di alam semesta, ia hanya menjawab pertanyaan how dan tidak menjawab pertanyaan why. Positivisme menjadi dogma epistemik dengan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan harus mengikuti doktrin unified science apabila ingin disebut ilmu pengetahuan ilmiah, bukan semata-mata pengetahuan sehari-hari praktis eksistensial. 

Ciri-ciri Positivisme antara lain:[13] 

Objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi) 

Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika) 

Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata 

Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati 

Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri 

Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai giant clock work. 

Pandangan mengenai “kebenaran” verifikasi seperti apa yang diyakini oleh August Comte. untuk menentukan “kebenaran” itu perlakuan verifikasi data-data yang telah diobservasi, dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif berhenti sampai di situ karena telah dianggap benar dan baku (positif), melainkan. Induksi adalah cara penarikan kesimpulan yang bergerak dari hal-hal yang khusus menuju kesimpulan yang umum. Kesimpulan bersifat probabilitas (kemungkinan) berdasarkan data yang diajukan. Data ini belum mencakup keseluruhan, tetapi dianggap sudah mencukupi. 

Dalam bidang penelitian, jalan induksi ini biasa ditempuh untuk menarik kesimpulan yang berlaku menyeluruh (populasi) berdasarkan pada data yang diperoleh dari sebagian responden (sampel). Yang harus diperhatikan adalah sampel yang dipakai sebagai landasan untuk menarik kesimpulan umum itu cukup representative (mewakili) bagi keseluruhan.[14]

Dari deskriptif ringkas di atas mengenai positivisme, maka sebenarnya positivisme mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu antara lain:

B. Kelebihan Positivisme

Diantara kelebihan positivisme adalah:[15]

1. Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut

2. Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid

3. Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya

4. Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi

5. Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.

C. Kelemahan Positivisme

Diantara kelemahan positivisme adalah:

1. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.

2. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivisme berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat

3. Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivisme semua hal itu dinafikan

4. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid

5. Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian

6. Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar – seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivisme. Bias teoritik seperti itu tidak memberikan ruang bagi realitas yang berkembang atas dasar siklus – yakni realitas sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik akhir sebuah tujuan sejarah yang final.[16]

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan dalam pembahasan di atas, maka pemakalah dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Secara garis besar epistemologi positivisme sebagai berikut yaitu: (1) penekanan pada metode ilmiah, (2) mendasarkan sesuatu pengetahuan atas prinsip verifikasi, (3) penolakan terhadap metafisika, dan sebagainya.

2. Dengan adanya epistemologi positivisme maka mempunyai kelebihan diantaranya dan yang paling terpenting adalah kemajuan di bidang sains dan teknologi. Dan penggunaannya di masyarakat sangat luas terutama untuk penelitian sosial. Metode penelitian di masyarakat leebih dikenal dengan “metode survei".

3. Terdapat kelemahan-kelemahan ataupun kritik terhadapnya analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat. Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivisme semua hal itu dinafikan.

Catatan Pustaka

[1]W. Poespoprodjo, Logika Scientifika Pengantar Dialektika dan Ilmu (Cet. I; Bandung: Pustaka Grafika, 1999), h. 61. 

[2]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Cet. IX; Yokyakarta: Penerbit Kanisius, 1999), h. 31-32. 

[3]Ibid. h. 110. 

[4]Mudlor Achmad. Ilmu dan Keingin Tahu, Epistemologi dalam Filsafat (Cet. I; Bandung: Trigenda Karya, 1994), h. 47. 

[5]Harri Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Cet. V; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 54. 

[6]Asmoro Akhmadi, Filsafat Umum (Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 116. 

[7]Koento Wibisono, Arti Perkembangan menurut Positivisme Comte (Cet. II; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), h. 17. 

[8]Ibid. h. 27. 
[9]Asmoro Akhmadi, op. cit., h. 117. 
[10]Koento Wibisono, loc. cit. 
[11]Harun Hadiwijono, op. cit., h.111. 

[12]Bernard Deltgauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 67. 

[13]http://id.Filsafat-positivisme-dan-ciri-cirinya_files. 
[14]W. Poespoprodjo dan Ek. T. Gilarso, Logika Imu Menalar (Cet. I; Bandung: Pustaka Grafika. 1999), h. 24-25. 

[15]http//id.positivisme_files. 

[16] http//id.logical-posivitisme-files. 

Loading...

0 Response to "Makalah Kuliah: Epistemologi Positivisme dalam Kajian Filsafat"

Post a Comment